Kantamedia.com – Fenomena maraknya penggunaan produk asal China di Indonesia kini semakin tak terbendung. Salah satu pemicunya adalah kehadiran platform social commerce seperti TikTok yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. Tren ini memunculkan pertanyaan: Apakah ini bentuk penjajahan ekonomi baru atau justru peluang bagi pasar Indonesia?
Survei terbaru dari KPMG terhadap 7.000 konsumen Generasi Z di 14 negara, termasuk Indonesia, mengungkapkan bahwa 63 persen responden berbelanja melalui social commerce. Lebih dari setengahnya (57 persen) menggunakan fitur livestreaming di e-commerce. TikTok Shop menjadi salah satu platform favorit, terutama di Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
“Penggabungan media sosial dan e-commerce menarik perhatian Gen Z karena metodenya relevan bagi mereka,” ujar Irwan Djaja, partner dan kepala penasihat KPMG Indonesia, Minggu (15/9/2024).
Merespons tren ini, para brand berlomba-lomba menyesuaikan strategi pemasaran mereka. Fokus utama diarahkan pada platform seperti TikTok dan Instagram, yang dianggap sebagai “senjata” dalam meraih pasar Gen Z.
“TikTok adalah senjata. Platform itu masih bertumbuh dengan basis viewers dan pengaruh yang besar,” kata Eric Pong, co-founder AfterShip, perusahaan software-as-a-service (SaaS) untuk pengalaman e-commerce.
Namun, kehadiran aplikasi e-commerce asal China seperti Temu, Shein, dan AliExpress di Indonesia memunculkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap UMKM lokal. Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah antisipasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023.
“Peraturan ini bisa menjadi acuan. Bukan bermaksud menahan perkembangan zaman, tapi meregulasi secara lebih tepat berbagai aplikasi,” jelas Herfan Brilianto Mursabdo, Asisten Deputi Bidang Koperasi dan UMKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Regulasi tersebut mewajibkan perusahaan e-commerce asing untuk membuka kantor perwakilan di Indonesia dan membatasi harga barang yang bisa dibeli secara lintas negara hingga US$ 100. Langkah ini bertujuan untuk melindungi pasar domestik dari serbuan produk murah yang berpotensi merusak kondisi UMKM Indonesia. (*Mhu)