FARHAN menghentikan sepedanya tepat di depan warung Bu Esih, tempat di mana Farhan dan tukang ojek lainnya biasanya menunggu orderan penumpang. Dan tak seperti biasanya, Farhan tak langsung turun dari sepedanya dan malah sibuk melamun di atas sepedanya yang sudah ketinggalan zaman itu.
“Asem banget mukanya. Senyum dong mas farhan!” ujar Bu Esih. Membuyarkan lamunan Farhan.
“Saya belum mendapatkan penumpang sejak pagi, Bu. Mana bisa saya tersenyum sekarang?” jawab Farhan dengan nada yang ketus.
Farhan menatap wajahnya sendiri di kaca spion. Senyum? Dia sendiri bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia bisa tersenyum lebar. Mungkin sekitar tiga tahun yang lalu. Saat hidupnya masih baik-baik saja atau saat hidupnya masih bergelimang harta. Saat Ayahnya masih belum dipenjara karena kasus penggelapan dana perusahaan hingga mengakibatkan seluruh aset mereka disita. Dan untuk melanjutkan hidup, Farhan terpaksa harus menjadi tukang ojek online.
Farhan adalah seorang sarjana, tetapi bukan berarti dia bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Sudah berkali-kali Farhan mencoba melamar pekerjaan kantoran. Sayangnya, dia selalu gagal di tahap wawancara.
Menurutnya, hanya orang-orang yang hidupnya enak dan serba berkecukupan saja yang bisa tersenyum. Sebab, orang-orang seperti mereka tak punya beban di pundak mereka. Sementara, orang-orang yang hidupnya masih melarat seperti dirinya, mana mungkin bisa tersenyum di saat kondisi ekonominya sedang morat- marit? Mana mungkin dia bisa tersenyum di saat hidupnya sedang tidak baik-baik saja? Dan, mana mungkin dia bisa tersenyum di saat dia belum mendapatkan satu pun penumpang sejak pagi?
“Ya ampun, Mas. Apa susahnya sih tersenyum? Padahal senyum itu kan mudah sekali. Mas Farhan cukup menggerakkan sudut bibir Mas ke atas, sudah deh, beres!” ujar Bu Esih, sembari mempraktikkannya.
“Bu Esih bisa berbicara seperti itu karena warung Bu Esih selalu ramai pembeli. Coba kalau warung ini sepi, mana mungkin Bu Esih bisa tersenyum lebar seperti sekarang?” Ejek Farhan. Bu Esih cengengesan dan menunduk malu.
“Bener sih, Mas. Waktu itu, warung saya pernah sepi dan bawaannya tuh kayak sedih dan kesal terus. Sulit rasanya untuk bisa tersenyum di saat-saat seperti itu”
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.