“Maura, papa hampir bangkrut nak. Sekitar tiga bulan yang lalu papa ditipu habis-habisan oleh klien dan rekan bisnis papa sendiri. Sejak itu papa berusaha terus biar bisnis papa tetep jalan, biar kamu sama mama tetep bisa hidup enak. Itu kenapa papa belum bisa liburan. Papa kerja siang malem dan jadi sibuk banget sampai-sampai nggak merhatiin kamu sama mama. Maafin papa ya? Lalu setelah semua yang sudah papa lakukan, sewaktu bisnis papa udah mulai pulih, apa yang papa dapet, nak? Kamu udah liat kan di tv? Jadi sewaktu kamu bilang ketika kita nggak punya apa-apa lagi, semua hal akan pergi ninggalin kita kecuali keluarga, papa nggak percaya.” Papa tersenyum sedih mengakhiri penjelasannya.
“Maura nggak ninggalin papa kok…” Maura merasa matanya panas. Saat tak mampu lagi menahan air matanya, ia menghambur ke pelukan papanya. Berulang kali meminta maaf dengan ucapan yang tidak terdengar jelas karena ia sedang menangis sesenggukan.
Hal yang paling membahagiakan bagi Maura hari itu adalah ketika ia tahu papa telah memaafkan mama. Entah bagaimana caranya, Maura tidak pernah paham mengapa papa punya hati sebesar dunia.
“Ayo, Maura. Keburu jam besuk habis.” Papa berteriak setengah memaksa.
“Iya, iya. Aku udah kok.” Maura sekali lagi menatap pantulan dirinya di cermin sebelum meyakinkan dirinya bahwa penampilannya sudah rapi.
“Dasar cewek, dandan lama sekali.” Papa terkekeh pelan lalu menggandeng putri semata wayangnya itu ke mobil. Maura yakin mama pasti senang.
Keadaan mama tidak jauh berbeda dari yang terakhir kali dilihat Maura. Rambutnya mama masih acak-acakan, pandangan matanya masih kosong, dan tangan serta kakinya masih terikat dengan kain yang Maura rasa cukup kuat. Maura menoleh ke sebelah kanannya dan yang membuat Maura ingin mengutuk dan memarahi mama adalah kedua bola mata papa yang basah. Papa berjalan pelan mendekati ranjang. Dielusnya rambut mama yang kusut itu.
“Halo, Rosa. Apa kabar?” dan bersamaan dengan itu air mata papa jatuh menetes mengenai muka mama. Mama terlihat terkejut dan menolehkan kepalanya.
“Maura, papa?” Maura tersenyum sedih mendengarnya. Ternyata mama masih belum ada mengalami perkembangan yang begitu berarti. Maura mendekati mama dan memegang tangannya.
“Itu papa, ma. Papa mau ngomong sama mama.” Maura menunjuk ke arah papa dan mama mengikuti arah pandangnya.
“Papa, maaf.” Kata-kata mama berganti namun pandangan matanya masih tetap kosong. Papa mengeluarkan air mata lebih banyak.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.