Hut Ri

Brand Besar Beralih ke Influencer, Industri Iklan Berubah Arah

Jakarta, Kantamedia.comDi tengah ketatnya persaingan kerja dan pemangkasan anggaran iklan akibat tekanan ekonomi global, profesi influencer justru melesat tajam dan menjadi primadona baru dunia pemasaran. Bukan hanya kalangan selebritas, siapa pun yang memiliki pengaruh di media sosial kini berpotensi menjadi “mesin uang” bagi brand-brand besar.

Salah satu contoh mencolok datang dari Ashton Hall, influencer kebugaran yang viral usai mengunggah video rutinitas pagi dengan mencelupkan kepala ke dalam air mineral merek Saratoga. Meski tidak berafiliasi resmi dengan produk tersebut, video itu langsung mendongkrak popularitas Saratoga. CEO Primo Brands, pemilik merek tersebut, bahkan menyampaikan terima kasih kepada Hall dalam laporan pendapatan perusahaan.

Fenomena ini bukan satu-satunya. Berbagai merek global seperti Coach, Dove, dan Hellmann’s kini menjadikan influencer sebagai ujung tombak kampanye pemasaran mereka, dengan TikTok sebagai platform utama. Produk tas Coach dengan ornamen ceri dan pretzel sempat menjadi tren di kalangan Gen Z dan mendorong penjualan secara signifikan.

Industri yang Terus Tumbuh

Menurut data Statista, nilai industri pemasaran influencer global diperkirakan melonjak 36% tahun ini, mencapai US$33 miliar atau sekitar Rp540 triliun. Deloitte mencatat bahwa belanja merek terhadap konten kreator naik 49% secara global tahun lalu, dengan seperempat dari anggaran media sosial kini dialokasikan untuk influencer.

“Ekonomi kreator justru melesat saat brand menahan pengeluaran untuk iklan konvensional,” ujar Kenny Gold, Direktur Pelaksana Deloitte Digital, dikutip dari Taipei Times.

Bahkan, Kate Scott-Dawkins dari WPP menyebut bahwa tahun ini untuk pertama kalinya, pendapatan iklan dari konten buatan pengguna akan melampaui konten profesional.

Brand Percaya Influencer, Bukan Iklan Konvensional

Raksasa konsumen Unilever pun mengikuti tren ini. CEO Fernando Fernandez mengungkapkan bahwa pihaknya akan merekrut influencer 20 kali lebih banyak, serta meningkatkan porsi anggaran media sosial hingga 50% sebagai respons atas makin tingginya skeptisisme publik terhadap branding korporat.

CEO agensi kreatif The Fifth, Oliver Lewis, menegaskan bahwa influencer kini menjadi pusat strategi pemasaran, bukan lagi sekadar pelengkap. Selain biaya yang lebih rendah dibandingkan iklan TV dan billboard, penggunaan influencer dinilai fleksibel dan mudah disesuaikan dengan respons pasar.

Tantangan dan Masa Depan Influencer

Meski begitu, strategi ini bukannya tanpa risiko. Adidas sempat memutus kontrak dengan Kanye West karena kontroversi di media sosial yang merusak citra merek. Kini, perusahaan mulai mempertimbangkan influencer berbasis AI sebagai solusi lebih aman karena dapat dikendalikan sepenuhnya dan bebas dari risiko reputasi.

Namun, nilai keaslian dari manusia tetap jadi daya tarik utama.

“Orang lebih percaya orang daripada merek,” kata Rahul Titus dari Ogilvy.

Meskipun masa depan tren ini masih belum sepenuhnya bisa diprediksi, satu hal jelas: influencer kini bukan lagi di pinggiran, tapi telah jadi pusat perhatian dalam dunia pemasaran modern.

“Apa yang dulunya dilihat sebagai sesuatu yang terpisah, kini berada di tengah-tengah,” tutup Lewis. (Mhu).

Bagikan berita ini