Bantah karena Biaya Mahal, Kadis PMPTSP Ungkap Ini Penyebab Izin Tambang di Kalteng Tersendat

Palangka Raya, kantamedia.com – Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Kalimantan Tengah, Sutoyo, menegaskan bahwa seluruh proses perizinan, khususnya terkait sektor tambang Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), telah terintegrasi penuh melalui sistem OSS (Online Single Submission). Hal ini disampaikan dalam wawancara pada Rabu (30/7/2025), menanggapi berbagai isu mengenai biaya dan kendala perizinan usaha tambang.

Menurut Sutoyo, tidak ada pungutan biaya dalam pengurusan perizinan melalui OSS. Pemahaman di masyarakat bahwa perizinan mahal, katanya, seringkali disebabkan oleh biaya penyusunan dokumen lingkungan seperti Amdal, yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab pelaku usaha melalui jasa konsultan swasta. “Itu bukan bagian dari pemerintah, dan tidak dikelola oleh kami,” tegasnya.

Menanggapi kendala yang dialami pelaku usaha terkait pemahaman sistem OSS-RBA, DPMPTSP secara konsisten menggelar sosialisasi empat kali setahun di tingkat provinsi, serta pelayanan langsung ke kabupaten-kabupaten. Langkah ini dilakukan guna memperluas akses masyarakat terhadap layanan perizinan dan meningkatkan literasi pelaku usaha terhadap regulasi yang berlaku.

Sutoyo juga menyinggung evaluasi dan masukan dari KPK, yang menurutnya sangat membantu dalam mendorong kepatuhan pelaku usaha. Kehadiran lembaga pengawas tersebut dianggap memperkuat sistem dan mempercepat diseminasi regulasi kepada publik. “Kami sangat berterima kasih dan berharap sinergi antar lembaga terus berjalan,” ujarnya.

Namun demikian, tantangan utama yang kini dihadapi adalah dominasi kawasan hutan produksi (HP) di Kalimantan Tengah, yang mencakup sekitar 78 persen wilayah provinsi. Banyak pelaku usaha tambang kesulitan melanjutkan proses perizinan karena harus mendapatkan persetujuan pelepasan kawasan hutan dari pemerintah pusat. “Untuk lahan kecil 3–5 hektare saja, tetap harus ke pusat. Ini sangat memberatkan pengusaha,” kata Sutoyo.

Menurutnya, pelimpahan kewenangan pelepasan kawasan hutan untuk lahan skala kecil ke pemerintah provinsi akan sangat membantu efisiensi dan mempercepat legalisasi usaha. Saat ini, lamanya proses dan ketidakpastian dalam penanganan kawasan membuat pelaku usaha enggan mengurus izin secara resmi.

Di sisi lain, ketidaksinkronan antaraturan di tingkat pusat turut memperparah situasi. Sutoyo menyebut bahwa peraturan sering kali tidak sejalan. Ketidakharmonisan ini membuat dinas teknis di daerah ragu bertindak karena khawatir menyalahi aturan. “Akhirnya muncul ketakutan mengambil keputusan,” ujarnya.

Sutoyo menekankan bahwa solusi dari hambatan perizinan bukan pada penghapusan biaya, tetapi pada penyederhanaan proses administratif dan sinkronisasi regulasi antarinstansi. “Kalau kawasan hutan bisa ditangani dengan mekanisme yang lebih efisien, maka pengusaha tidak akan ragu untuk legal,” tutupnya. (daw)

Bagikan berita ini