Kantamedia.com – Salah satu tradisi buruk dan tidak manusiawi yang terjadi sebelum datangnya Islam menurut Syekh Muhammad Mutawalli ay-Sya’rawi adalah istibdha’, yaitu pernikahan untuk mendapatkan keturunan yang unggul dengan cara suami memerintahkan istrinya untuk berzina dengan laki-laki terpandang yang memiliki kehormatan, tukar menukar istri, dan memperlakukan wanita haid dengan tidak manusiawi. (Syekh Sya’rawi, Fiqhu al-Mar’ah al-Muslimah, [Maktabah Taufiqiyah: 2019], halaman 8-9).
Itulah gambaran sederhana keadaan wanita haid sebelum datangnya Islam. Mereka benar-benar tidak mendapatkan keadilan, diperlakukan dengan tidak manusiawi, dan tidak mendapatkan kehormatan sama sekali, bahkan keberadaan mereka hanya dianggap sebagai komoditi pemuas syahwat saja. Keberadaannya dihinakan dan hak-haknya banyak terabaikan.
Sejak datangnya Rasulullah Muhammad Saw, dalam setiap harinya selalu menjadi teladan yang harus dijadikan contoh oleh semua umatnya, termasuk dalam memperlakukan wanita yang sedang haid. Mengutip dari laman NU Online, Nabi mengajarkan kita semua bahwa wanita haid bukanlah wanita yang harus ditakuti, dijauhi, dan ditempatkan di tempat yang terpisah dengan keluarganya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu sebelum datangnya Islam.
Islam Datang Memberikan Kemuliaan pada Wanita
Setelah tradisi yang tidak manusiawi itu terus berkembang dan berlanjut, akhirnya Allah Swt mengutus Rasulullah untuk kembali menyerukan ajaran kebenaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga hak-hak wanita dan kehormatannya tidak terabaikan. Mereka hidup sebagai manusia yang terhormat dan mulia. Sedangkan ketika haid, Islam hanya melarang untuk menggauli mereka, bukan menjauhi atau menganggap najis kulitnya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu, jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2]: 222).
Merujuk pendapat Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa penyebab turunnya ayat ini adalah karena sikap orang-orang Yahudi yang memberlakukan wanita tidak pada semestinya. Mereka tidak mau makan bersamanya, tidak mau serumah dengannya, dan tidak mau mendekat dengannya.
Kebiasaan yang tidak manusiawi itu akhirnya mendapatkan respon dari Allah dengan turunnya ayat di atas. Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda:
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
Artinya: “Kerjakanlah setiap sesuatu kecuali nikah (bersetubuh).”
Selang beberapa waktu setelah ayat ini turun, sampailah berita ini kepada orang-orang Yahudi. Mereka kemudian berkata, “Tidak ada sesuatu yang dikehendaki laki-laki ini (Rasulullah) untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang ada pada kami, kecuali kami akan berselisih dengannya.”