Palangka Raya, Kantamedia.com – Dalam rangka memperingati Hari Hutan Sedunia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Palangka Raya menggelar diskusi yang menyoroti berbagai persoalan lingkungan di Kalimantan Tengah.
Diskusi ini dihadiri oleh aktivis lingkungan dan akademisi, di antaranya Manajer Advokasi dan Kajian WALHI Kalteng, Janang Firman Palanungkai serta Akademisi UM Palangka Raya Beni Iskandar, yang mengkritik deforestasi, penguasaan lahan, dan dampaknya terhadap masyarakat adat.
Janang Firman Palanungkai mengungkapkan, hutan Kalimantan Tengah mengalami degradasi yang semakin parah akibat ekspansi industri. Data WALHI menunjukkan bahwa 72% wilayah telah terdampak deforestasi, yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem, meningkatnya frekuensi banjir, dan berkurangnya sumber daya alam bagi masyarakat adat.
“Kalimantan dikenal sebagai paru-paru dunia, tetapi hutan kita terus berkurang akibat ekspansi industri. Deforestasi yang masif di area konsesi perusahaan mempercepat perubahan ekosistem dan menyebabkan banjir di daerah yang sebelumnya tidak pernah tergenang air,” ujar Janang.
Selain itu, Janang menyoroti penguasaan lahan oleh korporasi besar, yang menggeser masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Ia mencontohkan PT Industrial Forest Plantation (PT IFP) yang mengelola 100.000 hektare kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Ia mengkhawatirkan bahwa kawasan ini sewaktu-waktu dapat beralih fungsi menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE) tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan hak masyarakat adat.
“Konversi hutan menjadi HTI dan HTE tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan justru merugikan masyarakat lokal. Mereka kehilangan hak dan akses terhadap tanah, serta menghadapi dampak ekologi yang serius,” tegasnya.
Janang juga menekankan bahwa kerusakan hutan berpengaruh terhadap identitas budaya masyarakat adat. Orang Dayak memiliki hubungan spiritual dengan hutan, dan degradasi lingkungan ini mengancam kearifan lokal mereka.
Ancaman Deforestasi Besar di Kalteng
Sementara itu, Beni Iskandar, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR), menyoroti data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, yang menyebutkan bahwa 51,2% wilayah Indonesia masih berupa tutupan hutan, termasuk 7,2 juta hektare di Kalimantan Tengah.
Namun, ia memperingatkan bahwa tanpa upaya serius, luas hutan di Kalimantan Tengah dapat turun drastis hingga 20% dalam beberapa dekade mendatang. Meskipun terdapat upaya reforestasi, laju kehilangan hutan masih lebih tinggi daripada pemulihannya.
“Kalimantan Tengah berada di peringkat ke-5 nasional dalam deforestasi, menunjukkan bahwa kita masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelestarian hutan. Walaupun dalam hal reforestasi, provinsi ini berada di peringkat pertama, tetapi laju kehilangan hutan tetap lebih cepat dibandingkan pemulihannya,” jelas Beni.
Ia juga mengingatkan bahwa deforestasi tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada keanekaragaman hayati. Spesies endemik seperti orangutan semakin terancam punah, sementara perubahan ekosistem juga mengganggu keseimbangan flora dan fauna lainnya.
“Konservasi hutan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Harus ada kerja sama antara masyarakat, akademisi, dan perusahaan untuk memastikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Diskusi ini menghasilkan sejumlah rekomendasi, di antaranya:
1. Pemerintah harus lebih tegas dalam menegakkan regulasi terkait ekspansi industri di hutan Kalimantan Tengah.
2. Masyarakat adat harus diberi hak kelola yang lebih besar terhadap hutan dan tanah mereka.
3. Penerapan konsep ekonomi hijau berbasis konservasi harus diperkuat, agar keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seiring.
4. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, perusahaan, dan masyarakat harus diperkuat agar reforestasi dapat mengimbangi deforestasi.
Jika langkah konkret tidak segera diambil, Kalimantan Tengah berisiko menghadapi krisis ekologis yang lebih parah, termasuk meningkatnya banjir, perubahan iklim lokal, serta punahnya spesies-spesies endemik.
Diskusi ini menegaskan bahwa penyelamatan hutan Kalimantan Tengah harus menjadi prioritas, bukan hanya untuk menjaga ekosistem lokal, tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan secara global. (daw)