Palangka Raya, Kantamedia.com – Polemik usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, kembali memantik perdebatan publik. Dalam Dialog Kebangsaan dan Deklarasi Mendukung Gelar Pahlawan untuk Soeharto yang digelar Sabtu (8/11/2025), praktisi hukum Bayu Prima SBW menyampaikan pandangan kritis dan mengajak publik menilai sejarah secara komprehensif.
Bayu menyoroti isu integritas moral yang selama ini menjadi keberatan utama terhadap wacana gelar tersebut. Ia menyebut tuduhan pelanggaran HAM seperti kasus penembakan misterius (Petrus) dan praktik represif Orde Baru memang sering diangkat, namun belum pernah diputuskan secara hukum.
“Sampai hari ini, tidak ada satu pun putusan pengadilan yang inkrah menyatakan bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan,” ujarnya.
Ia membandingkan dengan peristiwa sejarah lain, seperti keterlibatan Soekarno dalam pengerahan Romusha saat penjajahan Jepang. Menurutnya, sejarah harus dilihat dalam konteks zamannya, bukan hanya satu sisi. “Soekarno jadi pahlawan tidak? Karena yang dilihat bukan hanya satu titik, tetapi alasan di balik peristiwa itu,” ucapnya.
Bayu menilai ketiadaan mekanisme “pengadilan moral” menjadi kendala utama dalam perdebatan ini. Ia mempertanyakan mengapa presiden-presiden sebelumnya tidak menyelesaikan isu dugaan pelanggaran Soeharto jika memang dianggap sebagai kejahatan besar.
Ia juga mengkritik manuver politik yang memengaruhi wacana gelar pahlawan. Menurutnya, gelar tersebut tidak boleh diputuskan berdasarkan tekanan politik. “Yang kita khawatirkan, peristiwa ini sengaja dipelihara sebagai dampak politik,” katanya.
Bayu menekankan pentingnya keseimbangan dalam membaca sejarah dan mengajak publik mencari kebenaran tanpa terjebak fanatisme politik. “Kalau kita masih bergelut dalam hitam dan putih, kita akan tergelus di sana. Yang paling penting adalah mencari sumber kebenaran itu sendiri,” tuturnya.
Ia juga menyinggung stabilitas politik sebagai kunci kemajuan negara. Menurutnya, meski kritik sulit di era Soeharto, stabilitas ekonomi dan politik tetap terjaga. “Itu konsekuensi negara tertutup,” ujarnya.
Menutup paparannya, Bayu mengajak agar pembahasan gelar pahlawan tidak berhenti pada glorifikasi atau demonisasi sejarah. Ia menegaskan bahwa penilaian harus berdasarkan fakta dan hukum, bukan asumsi. “Kita tidak bisa memberikan justifikasi kepada sesuatu yang belum pasti kita ketahui kebenarannya,” pungkasnya. (Daw).



