Palangka Raya, Kantamedia.com – Persoalan pelaksanaan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) kembali menjadi sorotan utama kalangan serikat pekerja di Kalimantan Tengah. Dua pimpinan organisasi buruh, Cornelis dan Karliansyah, menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah terhadap penerapan standar upah serta maraknya pelanggaran oleh perusahaan.
Ketua DPD KSPSI Kalteng periode 2022–2027, Cornelis, menyebut isu UMP dan UMK sebagai pembahasan paling sensitif di kalangan buruh. Ia menegaskan masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan upah minimum. “Meskipun sudah ada aturan hukum, pemerintah kerap memberi kelonggaran kepada perusahaan yang berdalih kesulitan keuangan. Ini menimbulkan ketimpangan dan menurunkan kesejahteraan pekerja,” ujarnya.
Cornelis mengungkapkan, pihaknya telah berulang kali mengusulkan pembentukan Tim Monitoring Pelaksanaan UMP yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Namun, hingga kini belum ada tanggapan resmi dari pemerintah daerah. Ia menilai lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menghambat terciptanya hubungan industrial yang harmonis. “Pembahasan UMP 2026 terancam tersendat karena sebagian serikat pekerja berencana tidak menandatangani rancangan UMP,” tegasnya.
Presiden Serikat Buruh Nusantara (SBN), Dr. Karliansyah, S.H., M.H., menegaskan bahwa upah minimum adalah batas bawah yang wajib dipatuhi. “Ibarat garis start dalam lomba lari, perusahaan tidak boleh memulai di belakang garis itu,” ujarnya.
Karliansyah mengungkapkan kondisi di lapangan sangat memprihatinkan. Di Palangka Raya, masih ditemukan pekerja yang menerima upah jauh di bawah UMK. “Ada yang hanya dibayar Rp1 juta, bahkan Rp800 ribu per bulan. Ini masalah serius,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya peran Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dalam sosialisasi dan pemantauan. “Apakah Disnaker sudah turun langsung mensosialisasikan aturan itu kepada pekerja dan pengusaha? Transparansi penting agar semua pihak tahu hak dan kewajibannya,” tegasnya.
Karliansyah menilai, persoalan upah berkaitan erat dengan rekrutmen dan penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai prosedur. Banyak pekerja, terutama di sektor sawit, direkrut tanpa mekanisme resmi dan terjebak dalam kondisi kerja berisiko. “Kasus kekerasan, intimidasi, bahkan kematian masih terjadi. Ini membuka ruang bagi praktik perdagangan orang dan bentuk modern dari perbudakan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya efek jera bagi pelanggar hukum ketenagakerjaan. “Sanksi pidana jarang dijalankan. Akibatnya, pelanggaran terus berulang sementara buruh yang menuntut haknya justru dipersekusi,” tambahnya.
Karliansyah menyerukan agar pemerintah daerah segera melakukan audit menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, penempatan, dan pembayaran upah, serta memperkuat penegakan hukum. “Tanpa langkah konkret dan tegas, perjuangan buruh untuk hidup layak akan terus terhambat,” tutupnya. (Ric).


