Hut Ri

WWF Dorong Penerapan Jangka Benah Sawit Perhutanan Sosial di Kalteng

Palangka Raya, kantamedia.com – World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia menegaskan komitmennya dalam mendukung penguatan kelembagaan dan pengelolaan kawasan perhutanan sosial secara berkelanjutan di Kalimantan Tengah, khususnya melalui pendekatan jangka benah sawit yang sesuai regulasi.

Hal tersebut disampaikan oleh Okta Simon, Program Manajer WWF Indonesia Kalteng, dalam pembukaan Sekolah Strategi Jangka Benah, Selasa (17/6/2025) di Hotel Best Western Palangka Raya. Kegiatan ini berlangsung hingga 19 Juni dengan agenda kelas dan kunjungan lapangan di Desa Karang Sari, Kabupaten Kotawaringin Timur.

“Program ini bagian dari kerja bersama antara WWF dan Dinas Kehutanan Kalteng. Dalam perencanaan tahunan, kami selalu mendukung penguatan kelompok tani hutan, termasuk bagaimana strategi jangka benah bisa diimplementasikan secara tepat,” ujar Okta.

Menurutnya, keberadaan tanaman sawit dalam kawasan hutan yang sudah memiliki izin perhutanan sosial perlu disikapi secara bijak, tidak sekadar dihapus, tetapi dibenahi melalui skema jangka benah yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat dan tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan.

“Ini bukan hal baru. Sudah sejak beberapa tahun lalu Kalimantan Tengah menjajaki pendekatan jangka benah. Namun sekarang perlu kita rumuskan model yang tepat, berbasis pengalaman lokal dan didukung kajian ilmiah,” jelasnya.

Dalam kegiatan ini, WWF juga memperkenalkan dua lokasi percontohan (pilot site) untuk implementasi jangka benah tahun 2025, yaitu di Desa Mineral, Kabupaten Seruyan untuk ekosistem mineral, dan di Kamipang, Kabupaten Katingan untuk kawasan gambut. Keduanya diharapkan menjadi model yang bisa direplikasi di wilayah lain.

“Kita tidak ingin sekolah ini hanya berhenti sebagai pelatihan. Tujuan utamanya adalah implementasi nyata di lapangan. Dengan dukungan dari UGM, BPDAS, BPR, dan perguruan tinggi seperti Universitas Brawijaya, kita harap konsep jangka benah ini benar-benar bisa diterapkan,” ujarnya.

Okta juga menekankan pentingnya menggabungkan pengetahuan ilmiah dengan kearifan lokal yang telah dijalankan oleh masyarakat adat maupun petani hutan secara turun-temurun. Menurutnya, sinergi antara akademisi dan pelaku lapangan akan memperkuat model jangka benah ke depan.

“Kita sangat menghargai pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat. Kalau digabung dengan dukungan akademis dan regulasi pemerintah, hasilnya akan lebih kuat dan berkelanjutan,” tegasnya.

Di akhir sambutannya, Okta berharap kegiatan ini berjalan lancar, baik di sesi ruangan maupun saat praktik lapangan, dan menjadi tonggak penting dalam membangun tata kelola perhutanan sosial yang kuat, legal, dan berpihak kepada kesejahteraan masyarakat desa. (daw)

Bagikan berita ini