Palangka Raya, Kantamedia.com – Komisi II DPRD Provinsi Kalimantan Tengah menerima audiensi masyarakat adat Kecamatan Tualan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur, terkait sengketa lahan dengan PT Hutanindo Alam Lestari (PT HAL). Konflik ini mencakup ±42 hektare lahan eks makam leluhur dan tanaman produktif warga Desa Luwuk Sampun, yang telah dimenangkan masyarakat melalui putusan hukum adat dan diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya.
Kepala Adat Damang Tualan Hulu, Leger T. Kunum, menjelaskan bahwa konflik bermula sejak 2023 ketika perusahaan menggusur lahan tanpa ganti rugi dan tanpa menghormati keberadaan makam leluhur.
“Putusan adat Damang Tualan Hulu Nomor 1/DKA-TH/PTS/V/2024 menegaskan hak masyarakat atas lahan itu, tapi PT HAL tidak mematuhi dan malah menggugat balik ke Pengadilan Negeri Sampit,” ujarnya.
Putusan PN Sampit kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya, yang mengembalikan kekuatan hukum kepada putusan adat.
“Putusan adat kami bersifat final dan mengikat. Jika perusahaan tetap mengabaikan, kami akan kenakan sanksi adat sesuai Perda Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak,” tegas Leger.
Yanto E. Saputra, ahli waris terdampak, menyebut sikap perusahaan sebagai pelecehan terhadap martabat hukum adat.
“Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 41/PT/2025/PT.PLK sudah inkrah. Tapi sampai sekarang PT HAL belum juga menjalankan. Ini bukan hanya soal tanah, tapi soal penghormatan terhadap leluhur dan keadilan bagi masyarakat adat,” ungkapnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Bambang Irawan, menyampaikan bahwa pihaknya tengah mendalami seluruh laporan konflik lahan, termasuk di Tualan Hulu.
“Kami ingin memastikan posisi hukum dan kronologi dari sisi masyarakat sebelum RDP dilaksanakan,” jelasnya.
Komisi II dijadwalkan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 7 Oktober 2025, menghadirkan lima perusahaan, termasuk PT HAL, PT Tri Oetama Persada, dan PT Archipelago Timur Abadi.
“Kami berkomitmen agar penyelesaian dilakukan secara transparan dan berkeadilan, dengan menghormati hukum adat maupun hukum positif,” pungkas Bambang.
Audiensi ini mempertegas peran DPRD sebagai mediator dalam konflik agraria, sekaligus memperkuat pengakuan terhadap hukum adat sebagai instrumen sah dalam penyelesaian sengketa di Kalimantan Tengah. (Daw).