Palangka Raya, Kantamedia.com – Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Tengah, Bambang Irawan, memaparkan kondisi memprihatinkan yang ia temukan selama masa reses di wilayah Hulu Kapuas, khususnya di Kecamatan Mandau Talawang dan Kapuas Hulu. Dalam kunjungan ke delapan titik di daerah tersebut, Bambang menemukan bahwa akses jalan, listrik, dan jaringan komunikasi masih menjadi hambatan utama masyarakat.
“Tiga persoalan mendasar ini belum juga terselesaikan. Ketertinggalan di daerah pedalaman masih jauh dari kata teratasi,” ujarnya, Selasa (11/11/2025).
Menurut Bambang, infrastruktur jalan menjadi keluhan paling mendesak. Ruas antar desa hingga penghubung kecamatan banyak yang rusak berat, sulit dilalui, bahkan tak bisa diakses jalur darat. Masyarakat terpaksa bergantung pada jalur sungai yang memerlukan biaya tinggi, sehingga pendapatan warga semakin tergerus.
“Kondisi ini membuat roda perekonomian lokal tidak bergerak. Distribusi barang pokok dan hasil pertanian sangat terhambat,” ungkapnya.
Masalah kedua, lanjut Bambang, adalah ketiadaan jaringan listrik yang merata. Ia mencontohkan, ibu kota Kecamatan Mandau Talawang, Desa Sei Sepinang, baru menikmati listrik PLN dalam waktu dekat, sementara sekitar sembilan hingga sepuluh desa lainnya masih gelap gulita. Upaya menggunakan PLTS atau TCU dari APDAL pun dinilai belum efektif karena hanya menjangkau sebagian kecil rumah warga dan tidak beroperasi berkelanjutan.
Selain jalan dan listrik, akses komunikasi menjadi persoalan berikutnya. Meski teknologi seperti Starlink sudah tersedia, warga belum mampu memanfaatkannya secara optimal karena keterbatasan daya listrik, sarana penunjang, dan edukasi digital. Akibatnya, masyarakat masih hidup dalam keterbatasan informasi dan komunikasi dengan dunia luar.
Bambang menilai, tiga masalah dasar ini harus menjadi perhatian serius pemerintah agar kesenjangan pembangunan antara daerah hulu dan hilir tidak semakin lebar. Ia menegaskan, ketertinggalan infrastruktur membuat program pemerintah pusat sulit menjangkau wilayah pedalaman.
“Program ketahanan pangan seperti cetak sawah dan brigade pangan tidak bisa dijalankan karena akses menuju lokasi pertanian tidak memungkinkan,” katanya.
Ia juga menyoroti tantangan geografis ekstrem di wilayah tersebut. Saat musim banjir, banyak desa terendam dan akses transportasi lumpuh. Namun ketika musim kemarau, jalur sungai surut sehingga tak bisa dilewati perahu. Kondisi ini kerap menghambat distribusi bahan pokok.
Beberapa desa, seperti Sei Hanyo, bahkan pernah mengalami banjir besar yang membuat mobilitas warga terhenti total.
Di sisi lain, pengembangan UMKM dan ekonomi lokal juga stagnan akibat infrastruktur yang minim. Warga yang memiliki usaha kecil seperti menjahit, membuat kue, atau kerajinan tangan hanya bisa menjual produk di sekitar desa.
“Padahal, peluang ekonomi bisa berkembang jauh lebih besar jika akses jalan dan listrik tersedia dengan layak,” tegas Bambang.
Ia berharap pemerintah provinsi dan kabupaten segera menyusun strategi pembangunan berbasis keadilan wilayah, agar masyarakat di pedalaman Hulu Kapuas tidak terus terpinggirkan dari arus pembangunan. (Daw).



