3. A: “Aku buka pagar dulu ya.”
B: “Rumah kamu pake pagar? Keren amat.”
A: “Aku engga, soalnya cluster one gate system, jadinya ngga ada yang pake di daerahku.”
4. A: “Kamu mandi malam-malam, nggak dingin?”
B: “Kan tinggal mandi pake air hangat.”
A: “Oh, kamu tadi masak air dulu ya?”
B: “Loh, kan tinggal pake water heater.”
Lucu? Iya. Tapi kalau kita renungkan, ada makna yang dalam di balik kelucuan itu.
Salah satu alasan tren ini booming adalah karena relatability. Banyak orang yang nonton dan merasa, “Eh, ini banget sih hidup gue!” Atau sebaliknya, “Wah, ini pengalaman orang lain yang selama ini nggak kepikiran sama gue.” Melalui guyonan seperti ini, orang jadi lebih sadar bahwa perbedaan gaya hidup bisa terjadi di sekitar mereka—bahkan di antara teman dekat atau pasangan sendiri.
Selain itu, gaya bahasanya yang santai dan sedikit absurd juga bikin penonton ngakak tapi sambil mikir. Misalnya dalam dialog ini:
A: “Aku kalau sakit pakai KIS.”
B: “Hah? Bukannya KIS itu buat orang miskin ya?”
Atau:
A: “Kamu lagi motoran ya?”
B: “Nggak kok.”
A: “Kok berisik banget suara anginnya?”
B: “Itu suara kipas angin!”
Dengan menyisipkan humor dan ketimpangan sosial dalam percakapan harian, tren ini berhasil menyentil banyak penonton tanpa terlihat menggurui.