Draft RUU Penyiaran Larang Jurnalistik Investigasi
Yadi juga menyoroti adanya larangan mengenai ekslusif jurnalistik investigasi yang tertulis pada Draft RUU penyiaran. Menurutnya adanya aturan tersebut berdampak dengan adanya campur tangan pemerintah dan akan ada pembatasan peliputan.
“Nah ini bahaya ini adanya larangan mengenai liputan investigasi seperti dalam rancangan undang-undang ini itu akan menyebabkan ada campur tangan dari regulator pemerintah dalam hal ini. Kalau seandainya ada pembatasan peliputan -peliputan jurnalistik termasuk disini adalah larangan investigasi,” ujarnya.
“Dalam draft rancangan RUU penyiaran ini pasal 56 ayat 2 isinya melarang menayangkan eksklusif penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Apa dasarnya pelarangan ini, pelarangan ini justru akan memberangus pers,” tambahnya.
Yadi menegaskan bahwa pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dalam aturan tersebut, katanya, telah diatur panduan Kode Etik Jurnalistik yang sudah disahkan oleh Dewan Pers dan masyarakat pers seluruh Indonesia.
“Ini mungkin kami berharap para pembuat rancangan undang-undang ini mengkomunikasikan ini dengan masyarakat pers bahwa ini ada irisan yang harus segera dibereskan,” ungkapnya.
Yadi juga meminta kepada pemerintah untuk mengajak dan berdiskusi terkait perancangan draft RUU penyiaran tersebut. Menurutnya jika tidak ada diskusi, maka RUU penyiaran tersebut dapat menjadi bumerang dan membungkam kebebasan pers.
“Ini harus ada diskusi dan dialog yang benar antara para pembuat rancangan undang-undang ini dengan masyarakat pers. Jangan sampai kemudian ini akan jadi backfire dan akan membungkam kebebasan berpendapat, kebebasan pers yang justru menjadi kunci dari tumbuhnya demokrasi di tanah air,” tandasnya.
Penolakan juga disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menilai adanya pasal 50 B ayat 2 dalam draf Rancangan undang-undang (RUU) penyiaran, tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik. AJI menilai klausul tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.
“Pasal itu harus dihapus, karena melarang investigasi di penyiaran itu sama saja pembungkaman pers,” ujar Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana saat dikonfirmasi, Sabtu (11/5/2024).
“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” sambungnya.
Bayu menjelaskan jurnalisme investigasi ini sangat penting bagi masyarakat. Karena berperan untuk membuka tabir berbagi bentuk penyimpangan.
“Lewat jurnalisme investigasi, masyarakat akan tahu jika terjadi penyimpangan seperti korupsi, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM. Contohnya kasus donasi ACT yang dibongkar lewat investigasi,” sambungnya.
Bersama stakeholder terkait, pihaknya juga sepakat kalau RUU ini sebaik ditunda terlebih dahulu. Apalagi menurutnya, penyusunan RUU penyiaran ini dilakukan secara tidak transparan.
“AJI, Remotivi dan beberapa organisasi masyarakat sipil sudah memberikan catatan pada RUU Penyiaran ini, khususnya soal isu jurnalistik pada 24 April lalu, salah satu menunda RUU ini karena proses pembuatannya tidak transparan dan terbuka,” sambungnya.
Konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KIP). Hal ini dinilai dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat Undang-Undang Pers.
“Pada pasal 42 disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draft RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” sambungnya. (*/red)