Pena Proklamasi yang Terlupakan
Pernyataan Proklamasi Kemerdekaan suatu negara adalah prosesi sakral. Penyusunannya sudah tentu harus dilakukan dengan persiapan yang amat matang karena akan jadi kebanggaan bagi anak cucu. Kondisi itu dapat terlihat dalam pernyataan kemerdekaan negara macam Amerika Serikat (AS).
Tempatnya dipersiapkan dengan baik. Bahkan, pena bulu ayam dengan kotak tinta terbaik disiapkan. Kondisi jauh berbeda terjadi dalam penyusunan Proklamasi Kemerdekaan Indoensia. Semuanya dilakukan serba mendadak.
Pernyataan kemerdekaan Indonesia tak digoreskan di atas perkamen dari emas. Kalimat-kalimat dari naskah Proklamasi hanya ditulis lewat secarik kertas. Itupun karena seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai buku tulis anak-anak.
Bung Karno menyobek selembar dan menulis kata-kata dari Bung hatta. Soekarno yang menulis naskah tak menggunakan pena khusus. Bung Karno menduga pena yang digunakan berasal dari pinjaman seseorang. Pena itu pula yang kemudian digunakan untuk meneken teks proklamasi atas nama Soekarno dan Hatta. Malang tak dapat ditolak. Pena yang digunakan tak jelas juntrungan nasibnya. Alias hilang.
Jika deklarasi kemerdekaan negara lain segera mengamankan pena sebagai benda bersajarah, pena Proklamasi Kemerdekaan Indonesia justru hilang begitu saja. Kondisi itu belakangan disayangkan oleh Bung Karno. Padahal, pena pinjaman itu dapat berpotensi jadi salah satu benda paling bersejarah dalam proses Indonesia merdeka.
“Kami juga tidak mencari pena bula ayam agar sesuai tradisi. Siapa yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu.”
“Aku tahu, para presiden Amerika Serikat (AS) membagi-bagikan pena yang telah digunakan untuk menandatangani undang0undang penting, tetapi aku, yang menghadapi momen penting dalam sejarah itu bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakan. Kukira aku meminjamnya dari seseorang,” ujar Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014). (*)