Pertamina Bantah Ada Pengoplosan Pertamax, Tapi Kejagung Mengaku Punya Bukti

Kantamedia.com – Terkuaknya kasus dugaan korupsi di Pertamina juga mengungkap beberapa fakta, di antaranya dugaan pengoplosan Pertamax dengan Pertalite. PT Pertamina Patra Niaga sendiri mengeklaim tidak ada aksi pengoplosan, namun Kejaksaan Agung (Kejagung) pun sempat membantah klaim tersebut dan mengatakan bahwa pihaknya bekerja dengan alat bukti.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, hasil yang ditemukan penyidik tidak seperti yang diklaim oleh Pertamina, bahwa Pertamax yang dijual ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang dikeluarkan oleh Dirjen Migas.

“Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-blending dengan 92 (Pertamax),” kata Qohar dalam konferensi pers pada Rabu 26 Februari di Kantor Kejagung, seperti yang dikutip dari YouTube Kompas TV.

Tidak hanya itu, berdasarkan keterangan saksi yang diperiksa, BBM yang dioplos dijual dengan harga Pertamax (RON 92).

“Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-blending dengan 92. Dan dipasarkan seharga 92,” jelasnya.

Mengantongi cukup bukti, pihak Kejagung mengaku akan meminta para ahli untuk meneliti hal tersebut.

“Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu,” pungkasnya.

Diketahui, dalam rapat dengan Komisi XII DPR RI, Pertamina membantah adanya aksi pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.

Pertamina justru mengakui memang ada proses penambahan zat aditif pada BBM jenis Pertamax sebelum didistribusikan.

Namun penambahan tersebut bukan pengoplosan, melainkan proses umum dalam industri minyak yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk.

“Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut,” kata Plt Dirut Pertamina, Mars Ega Legowo Putra.

“Jadi best fuel RON 92 ditambahkan aditif agar ada benefitnya, penambahan benefit untuk performance dari produk-produk ini,” pungkasnya.

Kerugian Bisa Sentuh Rp968,5 Triliun

Dugaan korupsi Pertamina dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023 terus menguak fakta-fakta yang mencengangkan. Kejagung menyatakan potensi kerugian negara dalam kasus korupsi Pertamina ini bisa mencapai Rp968,5 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa angka kerugian Rp193,7 triliun yang sebelumnya diumumkan baru merupakan perhitungan untuk tahun 2023 saja.

“Korupsi Impor Minyak Pertamina kerugian Rp193,7 T/tahun, itu baru kerugian 2023 saja bisa dibayangkan kerugian negara berlangsung 2018-2023,” ujar Harli Siregar dikutip pada Kamis, 27 Februari 2025.

Jika diasumsikan kerugian sebesar Rp193,7 triliun terjadi setiap tahun selama periode 2018-2023, maka total kerugian negara bisa mencapai Rp968,5 triliun. Angka ini tentu sangat fantastis dan menggambarkan betapa masifnya praktik korupsi di tubuh BUMN energi tersebut.

Kejagung saat ini tengah fokus menghitung kerugian negara secara komprehensif untuk periode 2018-2023.

Perhitungan ini meliputi berbagai komponen, seperti kerugian akibat ekspor minyak mentah yang seharusnya diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri, kerugian akibat mark-up harga impor minyak mentah dan produk kilang melalui broker serta kerugian akibat pengoplosan BBM.

Modus operandi yang terungkap dalam kasus ini antara lain, pembelian Pertalite (RON 90) yang kemudian dioplos menjadi Pertamax (RON 92).

Selain itu, juga ada indikasi penunjukan langsung dalam impor produk kilang, sehingga menyebabkan Pertamina harus membayar dengan harga tinggi.

Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Para tersangka berasal dari berbagai kalangan, mulai dari jajaran direksi anak usaha Pertamina, hingga pihak swasta yang berperan sebagai broker.

Tersangka terbaru dalam kasus ini adalah Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, serta Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga. Keduanya diduga terlibat dalam pengaturan pengoplosan BBM dan penunjukan langsung impor produk kilang. (*)

Bagikan berita ini