Meskipun pembedahan terhadap manusia telah dilarang, pada abad ke-11 M, pembedahan hewan mulai kembali bermunculan. Pasca ditinggalkan selama 1.700 tahun lamanya, pada tahun 1315, untuk pertama kalinya sejak kematian Herophilus dan Erasistratus, pembedahan manusia untuk mempelajari anatomi kembali dilakukan di Universitas Bologna, Italia.
Seiring berjalannya waktu, ukuran sesi untuk melihat pembedahan anatomi secara langsung semakin bertambah. Cakupan pesertanya pun tidak hanya terbatas pada akademisi saja, tetapi juga masyarakat umum.
Untuk menampung orang banyak tersebut, teater anatomi dibangun. Teater anatomi permanen pertama yang dibangun untuk pembedahan anatomi publik dirancang oleh Fabricius ab Aquapendente pada tahun 1594 di Universitas Padua.
Pembangunan teater anatomi ini kemudian diikuti oleh universitas lain, di antaranya Universitas pada tahun 1595, Universitas Leiden pada tahun 1596 dan Universitas Paris pada tahun 1604.
Muncul Aksi Pencurian Mayat
Masa keemasan ilmu anatomi sebenarnya terjadi pada akhir abad ke-18 dan ke-19. Memasuki abad ke-20, profesi medis semakin banyak diminati karena dipandang terhormat, terutama di Inggris dan Amerika Serikat.
Misalnya saja di Inggris, seiring berjalannya waktu, pemahaman bahwa studi anatomi dapat memperluas pengetahuan medis menyebabkan pihak gereja yang masih tak begitu menyukai pembedahan manusia pun akhirnya mengizinkan dilakukannya beberapa prosedur pembedahan.
Pada pertengahan tahun 1700-an, para pemuda yang ingin mempelajari anatomi lebih dalam berbondong-bondong melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran yang baru didirikan. Untuk memenuhi kebutuhan praktik pembedahan, jenazah para penjahat yang dieksekusi diserahkan ke pihak sekolah kedokteran.
Namun, karena jumlah cadaver yang terbilang jauh lebih sedikit dan tak sebanding dengan jumlah mahasiswa kedokteran yang sangat banyak, praktik pembedahan pun menjadi terhambat. Hal ini pun menyebabkan beberapa mahasiswa, baik di Inggris maupun Amerika Serikat, melakukan aksi nekat dengan menggali mayat-mayat yang baru dikuburkan dan menyelundupkan mayat tersebut ke dalam sekolah untuk dilakukan pembedahan dengan siswa yang lain.
Aksi pencurian mayat ini berlangsung terus menerus, hingga tak lama kemudian, muncul sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai “Resurrectionists” atau “Penganut Kebangkitan”. Kelompok ini mengembangkan serangkaian strategi untuk memudahkan aksi mencuri mayat.
Kelompok ini akan menggali lubang di bagian atas kuburan dan mengeluarkan mayatnya dengan pengait. Setelah berhasil mengeluarkan mayat tersebut, mereka akan menanggalkan pakaian dan barang-barang berharga dari mayat tersebut, meninggalkannya di samping kuburan yang telah kosong.
Kelompok ini percaya bahwa merampok barang milik mayat adalah tindakan ilegal tetapi tidak dengan mencuri mayat itu sendiri. Serangkaian aksi pencurian mayat ini menyulut amarah masyarakat.
Karena hal ini, untuk melindungi jenazah orang-orang yang mereka cintai, masyarakat mulai menguburkan jenazah dengan menggunakan peti mati logam atau menutupi kuburan tersebut dengan batu besar dan/atau disemen. Dalam sebuah kasus, untuk menghalangi para pencuri, seorang ayah nekat mengisi peti mati anaknya dengan bubuk mesiu.