Fenomena Pengemis Digital di TikTok dan Budaya Malu

TIKTOK adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik asal Tiongkok yang diluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao.

Pada awalnya, aplikasi ini membolehkan para pemakainya untuk membuat dan mengunggah video pendek mereka sendiri. Seiring perkembangan, TikTok kemudian melengkapi fiturnya dengan live streaming.

Pada Juli 2018 lalu, TikTok sempat diblokir di Indonesia oleh Kemenkominfo, karena banyaknya laporan yang mengeluhkan maraknya konten negatif di aplikasi ini.

Namun akhirnya, pemblokiran TikTok dibuka setelah satu minggu kemudian. Pihak TikTok bernegosiasi dengan Pemerintah dan berjanji membuat berbagai perubahan, termasuk menghapus konten-konten negatif, membuka kantor penghubung dan menerapkan batasan usia serta mekanisme keamanan.

Menurut laporan Business of Apps dilansir Katadata, aplikasi besutan Bytedance ini terus mencatatkan kenaikan jumlah pengguna aktif secara signifikan sejak awal pandemi alias 2020.

Hingga kuartal III 2022, TikTok diketahui telah memiliki 1,53 miliar pengguna aktif bulanan (monthly active users/MAU) di seluruh dunia.

Jumlah tersebut naik 4,63 persen dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq). Pada kuartal II 2022, jumlah pengguna aktif bulanan TikTok sebanyak 1,46 miliar pengguna.

Begitu pula dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Jumlah pengguna aktif bulanan TikTok sebesar 1,03 miliar pengguna pada kuartal III 2021 atau angkanya melonjak 47,92 persen.

Sementara apabila dibandingkan dengan kuartal III 2018, jumlah pengguna aktif bulanan TikTok bahkan telah melonjak hingga lebih dari 674,74 persen.

Pengemis Digital

Seiring waktu, TikTok terus melakukan pengembangan menjadi tak lagi hanya sekadar aplikasi berbagi video pendek. Para penggunanya pun bisa memperoleh keuntungan atau uang dari penggunaan aplikasi itu.

Para pengguna TikTok bisa menghasilkan uang lewat live dan dapat donasi atau saweran dari penonton, hingga menjual berbagai produk.

Modus yang paling banyak digunakan para pengemis digital di TikTok adalah memanfaatkan fitur live streaming. Karena saat live, memungkinkan para viewer memberikan stiker gift yang nantinya dapat ditukar dengan uang.

Fitur live TikTok ini pulalah yang kemudian banyak disalahgunakan. Tak sedikit penggunanya menjadikan TikTok sebagai sarana untuk mengemis. Pengemis-pengemis digital semakin bermunculan.

Bagi Anda pengguna TikTok, tentu sering melihat akun yang tengah menuliskan :

“Maaf bos ku boleh gak cuma 1 koin untuk modal jual es. Terima kasih.”

“1 koin mawar untuk bayar utang kos dan beli beras. IKHLAS PUKUL KEPALA PKE SENDA.”

“Mohon bantuannya saya belum bekerja. Mau bekerja motor disita bank.”

“Saya lapar kirim gift dong.”

Ada pula yang membuat challenge seperti mandi lumpur malam hari, mencoret-coret wajah, bahkan memukul bagian tubuh, ketika penonton live streaming memberikan gift dengan nilai tertentu.

Fitur live streaming TikTok sejatinya ditujukan untuk para kreator, selebritis, dan influencer agar bisa berinteraksi dengan followernya. Dan saweran yang diberikan pun bertujuan agar mendapatkan timbal balik bagi para penonton.

Namun faktanya, fitur saweran semacam ini lah yang justru dijadikan ajang mengemis dan meminta-minta.

Merebaknya fenomena pengemis digital seperti di TikTok ini memang kemungkinan disebabkan banyak faktor.

Mendapatkan saweran di TikTok tentu sah-sah saja, asalkan kreator benar-benar layak mendapatkannya alias mempunyai skill dan bakat. Misalnya, membuat konten menarik, menghibur penonton lewat konten gaming, menjual suara apabila berbakat menyanyi dan bermain alat musik, atau menjual produk dan lain sebagainya.

Tapi faktanya, kebanyakan pengemis-pengemis digital ini sangat mungkin memang tidak punya skill apa-apa. Sehingga tak salah apabila kemudian faktor pendidikan dan SDM lah yang dianggap menjadi penyebab utamanya.

Tingkat pengangguran yang masih relatif tinggi, terutama pada kelompok usia produktif. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 59 persen pengangguran di Indonesia berusia muda antara 15-29 tahun.

Jumlah pengangguran dalam rentang usia tersebut mencapai 4,98 juta jiwa per Februari 2022. Dengan rincian, terdapat 1,13 juta jiwa pengangguran berusia 15-19 tahun, 2,5 juta jiwa berusia 20-24 tahun, serta 1,34 juta jiwa berusia 25-29 tahun.

Sedangkan pengangguran yang berusia 30-39 tahun sebanyak 1,4 juta jiwa, dan yang berusia 40-49 tahun ada 1,2 juta jiwa.

Sementara angkatan kerja pada Agustus 2022, tercatat sebanyak 143,72 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 68,63 persen dari jumlah penduduk usia kerja.

Selain tingkat pendidikan dan kualitas SDM yang sampai saat ini masih menjadi “Pekerjaan Rumah” tidak ringan, faktor penyebab maraknya bermunculan pengemis-pengemis digital, juga akibat terkikisnya budaya malu dan meningkatnya budaya malas, khususnya pada kalangan generasi muda.

Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa usaha, payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih dahulu. Kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan membuat beberapa orang mempunyai mental dan pemikiran dari pada menganggur maka lebih baik mengemis. ***

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

Bagikan berita ini