Dalam banyak kesempatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa secara nasional terdapat seluas 3,3 juta hektar kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan. Jika dari luas tersebut nilai sanksi denda dihitung menggunakan rumus yang diatur dalam PP 24/2022, maka potensi penerimaan negara akan mencapai puluhan bahkan ratusan triliyun rupiah. Angka itu didapat apabila setiap satu hektar usaha tanpa izin akan dikenakan denda 15 juta – 50 juta, maka potensi penerimaan negara dari PSDH-DR dan PNBP yang akan didapat berkisar 49,5 triliun sampai 165 triliun.
Potensi pedapatan negara yang demikian besar tentu tetap tidak sebanding dengan kerusakan ekosistem dan dampak sosial yang timbul di lapangan, oleh karena itu kebijakan pengampunan di bidang kehutanan ini setidaknya bisa benar-benar dapat memaksimalkan pendapatan negara, dan dapat digunakan untuk pemulihan kerusakan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan masyarakat adat dan tempatan yang terdampak.
Oleh sebab itu, transparansi dalam proses pengampuan sangat penting dilakukan agar tidak menimbulkan spekulasi publik tentang adanya “kongkalikong” dan kecurangan serta lobi-lobi terselubung untuk menurukan angka denda. Proses yang tidak transparan selama penyelesaian oleh Kementerian Lingkungan dan Kehutanan selama ini hendaknya tidak terulang di Satgas Tata Kelola Sawit, karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada tahun politik menjelang Pemilihan Umum ini banyak pihak berpotensi memanfaatkannya untuk kepentingan politik. Kecurigaan publik akan semakin mengkristal, jangan-jangan kebijakan pengampunan ini akan digunakan untuk mendapatkan sumber pendanaan bagi parti politik maupun individu-individu partai politik.
Isu Kritis Industri Sawit
Mengingat banyaknya subyek hukum, terutama korporasi Perkebunan sawit dan pertambangan dalam kawasan hutan yang akan diselesaikan dengan pembayaran denda berupa PSDH DR dan PNBP, maka pengelolaan prosesnya ke depan oleh Satgas Tata Kelola Sawit haruslah benar-benar ditujukan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit dan tata kehutanan di Indonesia.
Masalah tata kelola sawit dan hutan merupakan isu yang tidak bisa dipisahkan, karena berbagai isu kerusakan hutan di Indonseia selalu diidentikkan dengan ekspansi perkebunan sawit secara masif di Indonesia. Kebijakan Uni Eropa terbaru yang menolak bahan pangan yang bersumber dari konversi hutan alam, dipastikan akan memberikan tekanan pada industri sawit di Indonesia.
Kebijakan memberikan pengampunan pada pelaku usaha sawit dalam kawasan hutan melalui skema bayar denda PSDH-DR dan PNBP yang saat ini diberlakukan, merupakan terobosan hukum untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha perkebunan sawit, dan memaksimalkan pengembalian kerugian negara dari kawasan hutan. Namun, terobosan ini belum mampu mempengaruhi kepercayaan publik internasional terhadap rantai pasok minyak sawit Indonesia.
Salah satu poin penting jika pemerintah ingin menjadikan kebijakan pengampunan ini mendapat apresiasi sebagai bagian dari upaya memperbaiki tata kelola sawit dan hutan adalah dengan memberikan ruang keterlibatan pemangku kepentingan. Keterlibatan pemangku kepentingan yang paling mendasar adalah menciptakan proses yang transparan dimulai dari mengumumkan siapa saja subyek hukum yang melakukan kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan, berapa luas dan besaran denda yang ditagihkan kepada masing-masing subyek hukum.
Transparansi juga perlu dilakukan terhadap data tutupan hutan dan tegakan pohon yang digunakan dalam penghitungan denda, baik dalam skema denda pasal 110 A maupun pasal 110B, karena pada poin banyak terdapat titik-titik rawan yang berpotensi disalahgunakan dalam penghitungan besaran denda. Jika transparan diterapkan, mudah-mudahan dapat mempengaruhi kepercayaan publik akan keseriusan pemerintah memperbaiki tata kelola sawit dan hutan di Indonesia. (***)
(Penulis: Ahmad Zazali, SH., MH., Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA))
(Disclaimer: Opini ini dikutip dari InfoSawit)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.