Selanjutnya, para pengurus partai politik ini mendapatkan insentif dengan dicalonkan sebagai anggota parlemen. Nah, melalui sistem tertutup ini para aktivis partai yang sudah berkontribusi dan berkiprah mendapatkan prioritas untuk diusulkan sebagai calon legislatif. Ketika sistem tertutup, maka partai politik lebih leluasa menyeleksi kader-kader potensial untuk dicalonkan pada pemilu.
Hanya saja, rakyat tidak bisa secara langsung menentukan calon anggota parlemen yang sesuai dengan ekspektasinya. Karena itu, dalam sistem tertutup akan sedikit sekali tokoh-tokoh baru yang terpilih sebagai anggota parlemen. Sebab, dalam menentukan nomor urut caleg, pimpinan parpol akan memberikan prioritas bagi pekerja partai. Sedangkan, para tokoh baru kemungkinan akan mendapatkan nomor sepatu dalam penyusunan daftar caleg.
Ijtihad Politik Hukum
Dua pendekatan sistem terbuka dan sistem tertutup tidak akan ketemu satu sama lain. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan bergantung dari perspektif yang digunakan.
Jika pendekatannya sistem kepartaian, maka yang cocok adalah sistem tertutup. Sebaliknya, jika pendekatannya representasi pemilih maka yang cocok adalah sistem terbuka. Untuk menjembatani dua pendekatan tersebut perlu dilakukan ijtihad politik hukum atau terobosan hukum yang bisa mengakomodasi dua pandangan tersebut.
Salah satu yang bisa diterapkan adalah sistem campuran (mix system), yakni menggabungkan antara tertutup dan terbuka. Usulan penggunaan sistem campuran ini pernah disinggung dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) (detikcom, 9 Mei 2023).
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam persidangan tersebut mencontohkan mix system di Skotlandia, yakni kebijakan afirmasi bagi caleg perempuan. Di negara Skandinavia tersebut, keterwakilan berbasis perempuan/gender dan yang harus dipilih secara affirmative action dilakukan menggunakan sistem tertutup. Di luar tujuan itu dilakukan secara terbuka.
Hal serupa disampaikan anggota hakim MK Arief Hidayat (detikcom, 9 April 2023). Dia menyebutnya hybrid system, yakni menggabungkan sistem terbuka dan tertutup.
Arief mencontohkan sistem proporsional terbuka dipakai untuk memilih presiden/wakil presiden dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pileg menggunakan sistem proporsional tertutup.
Hanya saja, contoh yang disampaikan Arief Hidayat tersebut kurang tepat, karena menyamakan antara pemilihan anggota DPD dengan pemilihan umum legislatif (pileg) sangatlah berbeda. DPD merupakan pemilihan melalui jalur perseorangan sementara pileg melalui partai politik.
Sistem campuran yang kami maksud adalah kombinasi berbasis perolehan suara. Bagi dapil yang perolehan suara parpol melebihi suara masing-masing caleg, maka penentuan caleg terpilih diserahkan kepada parpol. Sementara bagi dapil yang perolehan caleg ada yang melebihi suara parpol, maka yang terpilih adalah caleg dengan suara terbanyak.
Bagaimana jika ada pergantian antar waktu (PAW)? Jika perolehan suara parpol menempati nomor urut dua setelah caleg suara terbanyak, maka hak parpol menentukan caleg mana yang akan diajukan ke KPU. Sebaliknya, jika posisi kedua ditempati salah satu caleg, maka kandidat PAW menjadi milik caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua.
Tentu usulan ini perlu dikaji secara mendalam, baik secara akademis maupun teknis di lapangan. Setidaknya ijtihad politik hukum perlu dilakukan untuk memecah kebuntuan. Toh, tidak ada yang salah dalam berijtihad. Dalam Islam disebutkan, jika hasil ijtihad salah maka dapat satu pahala, jika hasil ijtihad benar maka dapat dua pahala. (*)
(Penulis: Achmad Baidowi, Sekretaris Fraksi PPP DPR RI/Pengajar Prodi HTN STAI Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.