Palangka Raya, kantamedia.com – Aksi Kamisan ke-70 kembali digelar pada Kamis sore (26/6/2025) di depan Tugu Soekarno, Jalan S. Parman, Kota Palangka Raya. Aksi ini mengusung tema “Tolak Revisi Buku Sejarah, Pemutihan Dosa Orde Baru” sebagai bentuk penolakan terhadap rencana pemerintah dalam merevisi buku sejarah nasional yang dinilai berpotensi menghapus jejak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu.
Dalam aksi tersebut peserta Aksi Kamisan menyerukan pentingnya mempertahankan ingatan kolektif atas tragedi-tragedi kemanusiaan di masa Orde Baru, termasuk kekerasan 1965, penghilangan aktivis 1997-1998, dan pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998.
Beragam spanduk dan poster berisi kritik keras terhadap negara dan aparat kekuasaan dibentangkan dalam aksi. Beberapa di antaranya bertuliskan:
“Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu”
“Negara Berdosa, Penghilangan dan Tragedi Kemanusiaan yang Dilupakan”
“Hutang HAM Masa Lalu Adalah Bukti Gagalnya Hukum di Negeri Ini”
“Penulisan Ulang Sejarah oleh Negara, Antara Kuasa Narasi dan Perlawanan Memori Kolektif”
Inisiator Aksi Kamisan Kalimantan Tengah, Amien Nudin dalam wawancara menegaskan bahwa revisi buku sejarah yang sedang direncanakan berpotensi menjadi bentuk penghapusan sistematis atas luka-luka sejarah bangsa. “Ini bukan sekadar persoalan narasi, tapi soal keadilan bagi para korban dan kebenaran sejarah yang tak boleh dikubur,” ujarnya. Ia menilai penghilangan memori kolektif merupakan bentuk kekerasan baru yang dilakukan negara, serta pengkhianatan terhadap prinsip Jas Merah—jangan sekali-kali melupakan sejarah—yang dulu digaungkan Presiden Soekarno.
Lebih lanjut, aksi ini juga menyoroti rencana kontroversial pemerintah yang beredar di publik mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto. Kritikan keras muncul dari berbagai kalangan, termasuk pegiat HAM, akademisi, dan keluarga korban pelanggaran HAM. Menurut Komnas HAM, hingga saat ini masih terdapat puluhan kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan dan melibatkan aktor-aktor negara dari era Orde Baru.
Aksi Kamisan yang dimulai sejak tahun 2007 di Jakarta kini telah menyebar ke berbagai daerah sebagai bentuk konsistensi masyarakat sipil dalam menuntut keadilan dan mengingatkan negara terhadap janji penyelesaian pelanggaran HAM. Di hari yang sama, aksi serupa digelar di depan gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi di Jakarta, mendesak agar proses revisi sejarah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan sejarawan independen serta para penyintas.
Peserta aksi menyerukan agar pemerintah tidak memutihkan sejarah demi kepentingan politik jangka pendek. Mereka menegaskan bahwa sejarah bangsa Indonesia tidak hanya berisi kemenangan dan pembangunan, tetapi juga luka, pengkhianatan terhadap rakyat, dan tragedi kemanusiaan yang harus diakui secara jujur demi rekonsiliasi sejati. (rik)