Palangka Raya, kantamedia.com – Puluhan mahasiswa dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHAP menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Jalan S. Parman, Palangka Raya, pada Senin (28/7/2025) sore. Aksi yang berlangsung dari pukul 15.30 hingga 17.30 WIB ini menyuarakan penolakan terhadap Revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) 2025 yang dinilai berpotensi menindas hak-hak masyarakat sipil.
Aksi ini melibatkan gabungan organisasi dan elemen masyarakat sipil seperti GMNI, Aliansi Pelajar Kalteng, Aksi Kamisan Kalteng, serta BEM Universitas Palangka Raya. Glennio Sahat Solu Sihombing, Ketua DPK GMNI FH UPR, bertindak sebagai koordinator lapangan dalam aksi tersebut.
Dalam orasinya, Glennio menyampaikan bahwa kajian internal mereka menunjukkan bahwa sejumlah pasal dalam draf RKUHAP justru membuka ruang represi terhadap masyarakat sipil. Salah satu sorotan utama adalah perubahan masa penahanan dari 1×24 jam menjadi 7×24 jam tanpa pengawasan yang ketat.
“Kami menilai revisi RKUHAP bukan hanya mengancam hak-hak individu, tapi juga mengikis prinsip-prinsip dasar negara hukum. Kami berharap DPRD Kalimantan Tengah bisa menyuarakan penolakan masyarakat atas revisi ini,” tegas Glennio.
Aliansi juga menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya:
1. Penguatan mekanisme pengawasan oleh hakim komisaris,
2. Koordinasi yang efektif antara jaksa dan penyidik,
3. Dan perlindungan korban serta penghormatan terhadap HAM sebelum RKUHAP disahkan.
Gratsia Christopher, Ketua DPK GMNI FKIP UPR yang juga bertindak sebagai sekretaris lapangan, mengkritik secara rinci pasal-pasal bermasalah dalam draf tersebut. Ia menyoroti Pasal 23 yang tidak menjamin mekanisme pelaporan independen bagi korban kekerasan seksual, serta Pasal 124 yang memungkinkan penyadapan tanpa pengawasan ketat.
“RKUHAP 2025 mencerminkan kemunduran serius sistem peradilan pidana kita. Banyak pasal yang justru membuka ruang kriminalisasi masyarakat sipil, bahkan memperluas peran aparat secara berlebihan tanpa kontrol yudisial,” ujar Gratsia.
Menanggapi aksi tersebut, Kepala Persidangan Perundang-undangan dan Kehumasan DPRD Kalteng, Diwung, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima tuntutan aliansi dan akan menyampaikannya ke Komisi III untuk dibahas lebih lanjut. Namun, ia menolak permintaan massa untuk membuat pernyataan sikap bersama, dengan alasan tidak memiliki wewenang untuk mewakili Ketua DPRD.
“Kami terbuka terhadap penyampaian aspirasi, selama dilakukan sesuai prosedur dan tetap menjaga kondusifitas lingkungan,” ujarnya.
Aksi berjalan damai dan ditutup dengan seruan penolakan terhadap legalisasi ketidakadilan melalui revisi undang-undang. Aliansi berjanji akan terus mengawal isu ini hingga RKUHAP direvisi ulang dengan memperhatikan prinsip demokrasi dan keadilan sosial. (rik)