Palangka Raya, kantamedia.com – Aksi damai bertajuk Rekontal (Revolusi Polisi Total) yang digelar di depan Markas Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah pada Jumat, 29 Agustus 2025, berujung ricuh. Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Palangka Raya, Pebriyanto, mengecam keras tindakan represif aparat dan menuntut pertanggungjawaban langsung dari Kapolda Kalimantan Tengah.
Dalam aksi tersebut, satu orang anggota GMNI dilaporkan mengalami luka serius hingga mengeluarkan darah dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif.
Pebriyanto menyebut kejadian ini sebagai bukti bahwa institusi kepolisian, khususnya di Kalimantan Tengah, belum belajar dari kesalahan masa lalu. “Alih-alih mendengar suara masyarakat yang menyuarakan aspirasi secara damai, aparat justru bertindak represif. Ini bukan hanya mencederai fisik massa aksi, tapi juga mencederai demokrasi,” tegasnya.
Ia juga menyoroti sikap Kapolda Kalimantan Tengah yang dinilai tidak menghargai aksi tersebut. “Kapolda keluar masuk sesuka hati tanpa menunjukkan itikad untuk berdialog atau mendengarkan aspirasi dari massa aksi. Sikap seperti ini tidak menunjukkan rasa hormat terhadap masyarakat yang sedang menyampaikan protes secara sah dan konstitusional,” tambahnya.
Lebih jauh, GMNI Palangka Raya menuntut agar aparat yang melakukan kekerasan terhadap massa aksi segera diusut dan diproses secara hukum, serta hasilnya disampaikan secara transparan kepada publik.
Selain itu, dalam aksi tersebut juga mencuat keluhan dari masyarakat terkait masih maraknya praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum anggota POLRI di wilayah Kalimantan Tengah. Menurut Pebriyanto, hal ini menjadi tanda bahwa reformasi internal kepolisian masih belum berjalan dengan baik.
“Sudah saatnya Polda Kalimantan Tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajarannya. Kasus pungli yang terus terjadi menunjukkan bahwa ada masalah sistemik yang harus segera dibenahi,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Pebriyanto berharap agar POLRI, khususnya di Kalimantan Tengah, bisa berubah menjadi institusi yang lebih humanis dan terbuka terhadap kritik serta aspirasi rakyat.
“Kami berharap ke depan tidak ada lagi tindakan represif terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya di muka umum. Kepolisian harus menjadi pelindung rakyat, bukan justru menjadi sumber ketakutan,” pungkasnya. (rik)




