“Kelompok perempuan yang menjadi objek politik uang, yang ada di pelosok daerah, itu secara perekonomian, mereka sangat timpang,” lanjut Neni.
Karena itu, selain literasi tanpa henti, Neni juga mengatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perempuan menjadi salah satu solusi untuk menekan praktik politik uang.
Adanya Tawaran dan Permintaan
Peneliti senior di Social Research Center, Universitas Gadjah Mada Dr. Kuskrido Ambardi melihat praktik politik uang ini selayaknya prinsip ekonomi terkait penawaran dan permintaan. Baik politisi maupun masyarakat, bisa berada dalam posisi sebagai pemberi tawaran dalam kasus politik uang.
“Ada politisi yang menawarkan dan memulai itu, sehingga masyarakat pemilihnya yang akan mengikutinya. Tetapi, bisa juga dari masyarakat memang ada permintaan,” ujarnya.
Kuskrido menyebut, dalam sejumlah kasus masyarakat memang langsung meminta politisi untuk tidak banyak berwacana. Yang mereka tanyakan adalah soal amplop, karpet, atau bantuan perbaikan jalan.
Kuskrido mengaku memiliki pengalaman empiris terkait ini, dimana politisi sama sekali tidak percaya dengan pengembangan strategi kebijakan atau strategi persuasi. Dia sepenuhnya percaya kepada kekuatan uang. Ketika politisi lain menggelontorkan uang untuk membeli suara di sebuah daerah pemilihan, dia membelanjakan uang lebih besar lagi.
Dalam bahasa kiasan, Kuskrido menyebut politisi ini tidak hanya melakukan serangan fajar, sebagai istilah untuk pembagian amplop di pagi hari menjelang saat pencoblosan, tetapi juga menggelar serangan tengah malam.
“Dia percaya, bahwa itu yang paling efektif,” kata Kuskrido. (*/jnp)


