Palangka Raya, Kantamedia.com – Presiden Serikat Buruh Nusantara (SBN), Dr. Karliansyah, S.H., M.H., menegaskan, upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten/kota (UMK) merupakan dasar hukum yang tidak dapat ditawar, dan wajib dipatuhi oleh seluruh perusahaan.
Ia menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang kerap membuat pelanggaran terhadap hak buruh dibiarkan begitu saja.
“Ketika UMK ditetapkan dan disahkan oleh provinsi atau kabupaten, maka itu adalah hukum. Kalau hukum dilanggar, ada konsekuensinya. Namun selama ini, bagaimana penegakan hukum itu dilakukan oleh Disnaker sebagai leading sector? Ini yang harus dijawab,” kata Karliansyah.
Menurutnya, perusahaan yang tidak mampu membayar upah sesuai ketentuan seharusnya mengajukan izin resmi kepada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Prosedur hukum tersebut mencakup audit menyeluruh terhadap kondisi keuangan perusahaan oleh Disnaker dan lembaga terkait seperti OJK.
“Kalau benar-benar tidak mampu membayar, perusahaan wajib diaudit oleh negara. Setelah terbukti tidak mampu, barulah Disnaker bisa mengeluarkan rekomendasi sementara. Tapi kekurangan gaji tetap dihitung sebagai utang perusahaan kepada buruh,” tegasnya.
Namun lanjut Karliansyah, praktik di lapangan justru jauh dari aturan. Banyak perusahaan mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar melalui perantara atau “calo tenaga kerja”, tanpa mekanisme rekrutmen resmi yang diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.
“Sekarang coba lihat, dari mana perusahaan bisa mendapatkan puluhan, ratusan bahkan ribuan tenaga kerja? Semua melalui calo. Itu bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi sudah masuk dalam praktik perdagangan manusia,” tukas.
Ia juga mengkritik lemahnya fungsi pengawasan ketenagakerjaan. Padahal, menurutnya, pengawas ketenagakerjaan memiliki kewenangan penyidikan layaknya aparat penegak hukum.
Pengawas itu ibarat seperti penyidik. Mereka bisa menutup perusahaan, bahkan menangkap manajer jika melanggar hukum. Tapi pernahkah ini dilakukan di Kalimantan Tengah? Nonsen. Banyak yang justru berkompromi dengan perusahaan,” tegas Karliansyah.
Dalam penjelasannya, Karliansyah menyoroti pula persoalan peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB). Ia menilai banyak perusahaan menyusun peraturan kerja secara sepihak tanpa melibatkan serikat buruh dan tanpa pengesahan dari Disnaker.
“Setiap peraturan perusahaan wajib disahkan oleh Disnaker dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tapi kenyataannya, banyak PP dibuat asal jadi, bahkan hasil salin-tempel dari perusahaan lain. Ini terjadi karena tidak adanya serikat buruh di tempat kerja,” jelasnya.
Akibat lemahnya posisi buruh, lanjutnya, banyak pekerja menandatangani surat perjanjian kerja tanpa memahami isinya. “Suratnya diketik oleh perusahaan, 75 persen isinya menguntungkan pengusaha. Buruh disuruh tanda tangan di atas materai sepuluh ribu tanpa salinan perjanjian. Begitu terjadi konflik, buruh tak punya bukti apa-apa,” ujarnya.
Lebih jauh, Karliansyah menilai situasi ini memperlihatkan pembodohan sistematis terhadap buruh. Rekrutmen yang dilakukan melalui perantara tanpa dokumen resmi membuat pekerja kehilangan perlindungan hukum, termasuk ketika dipecat atau terjadi kecelakaan kerja.
“Perusahaan sengaja menggunakan jalur tidak resmi agar mereka bisa lepas dari tanggung jawab hukum. Inilah akar lemahnya posisi buruh di sektor perkebunan sawit,” timpalnya.
Sebagai penutup, Karliansyah menegaskan komitmen Serikat Buruh Nusantara untuk terus memperjuangkan hak-hak pekerja.
“Serikat ini lahir untuk memanusiakan manusia. Kami tidak mencari jabatan atau keuntungan pribadi. Kami berdiri agar buruh tidak lagi menjadi korban sistem yang timpang,” tandasnya. (Ric/*)


