Kantamedia.com – Pemerintah berencana merampungkan kebijakan redenominasi rupiah melalui penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah. Kebijakan ini ditetapkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025-2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 yang berlaku sejak 10 Oktober 2025 dan diundangkan pada 3 November 2025.
“RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027,” tertulis dalam PMK 70/2025, Senin, (10/11/2025).
Dalam PMK tersebut, terdapat empat urgensi pembentukan RUU Redenominasi, yakni efisiensi perekonomian melalui peningkatan daya saing nasional, menjaga kesinambungan perkembangan ekonomi, menjaga stabilitas nilai rupiah sebagai wujud daya beli masyarakat, serta meningkatkan kredibilitas rupiah.
Redenominasi rupiah akan dilakukan dengan penyederhanaan tiga angka nol tanpa mengurangi nilai tukar atau daya beli. Misalnya, uang Rp1.000 akan menjadi Rp1, Rp10.000 menjadi Rp10, dan Rp100.000 menjadi Rp100. Perubahan ini juga membuka peluang hadirnya kembali pecahan sen, seperti Rp500 yang akan berubah menjadi 5 sen.
Menurut kajian Indonesia Treasury Review 2017, redenominasi memberi manfaat berupa penyederhanaan transaksi, mengurangi potensi kesalahan pencatatan, memudahkan pengelolaan moneter, serta menekan biaya cetak uang.
Ekonom senior Raden Pardede menilai redenominasi dapat memengaruhi psikologis pelaku pasar. “Secara psikologi membuat kita lebih yakin, hitungan konversi kita ke mata uang dolar tidak Rp15.000, tapi katakan menjadi Rp15,” ujarnya dalam program Central Banking CNBC Indonesia pada 2023.
Namun, ia menegaskan redenominasi tidak serta-merta memperkuat kurs rupiah terhadap dolar AS. Nilai tukar tetap bergantung pada faktor fundamental seperti neraca pembayaran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, arus modal asing, dan utang. “Keuntungan hanya semata persoalan persepsi, psikologi saja, tidak lebih dari itu,” tegasnya. (*Mhu).



