Palangka Raya, Kantamedia.com – Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Tengah, Prof. H. Khairil Anwar, M.Ag, menegaskan bahwa mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam mencegah penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Himpunan Mahasiswa (HIMA) Kalimantan Tengah yang digelar di Aula Hotel Dandang Tingang, Palangka Raya, Rabu (9/7/2025).
Menurut Khairil, mahasiswa sebagai kaum terpelajar memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk aktif dalam kegiatan sosial, mengembangkan pola pikir kritis, serta membangun jaringan positif yang mencegah masuknya pengaruh radikal.
“Mahasiswa harus berani mengkritisi jika menemukan pemikiran menyimpang. Jangan mudah terpengaruh doktrin kelompok tertentu, karena mahasiswa adalah kalangan intelektual yang semestinya mampu menyaring informasi secara objektif,” tegasnya.
Khairil mengutip hasil penelitian Mun’in Sirry dalam buku Pendidikan dan Radikalisme (2023), yang menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan salah satu kelompok paling rentan terhadap pengaruh paham radikal. Penelitian itu mengungkapkan bahwa 48,3 persen mahasiswa terpapar radikalisme melalui teman pengajian, 8,3 persen melalui senior di kampus, 1,3 persen dari dosen, 1 persen dari orang tua, dan 6 persen melalui pemahaman Al-Qur’an secara pribadi.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap 700 mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang masuk dalam radar pemantauan BNPT, yakni IPB, ITB, ITS, UI, UNAIR, UNDIP, dan UB, serta melibatkan 500 siswa SMA di Jawa Timur sebagai pembanding.
Khairil menekankan bahwa mahasiswa harus memosisikan diri sebagai agen perubahan dan pemimpin masa depan. Ia mengingatkan bahwa radikalisme kini tak hanya menyasar laki-laki dan generasi milenial, tapi juga perempuan, generasi Z, bahkan anak-anak.
“Radikalisasi terjadi akibat berbagai faktor, mulai dari kesenjangan sosial, politik identitas, keterpinggiran, hingga pengaruh ceramah bernuansa jihadis. Ditambah lagi minimnya pemahaman agama dan budaya, serta gempuran propaganda di media sosial,” jelasnya.
Ia juga menyoroti empat tantangan besar bangsa Indonesia dalam menjaga keamanan dan keharmonisan:
Masih berkembangnya paham ekstrem di kalangan mahasiswa dan pemuda.
Meningkatnya intoleransi yang mengklaim kebenaran mutlak.
Masih adanya gerakan yang menolak ideologi Pancasila.
Derasnya arus informasi di era digital yang mempercepat penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan post-truth.
Khairil menutup pesannya dengan mengajak mahasiswa untuk mengambil peran aktif dalam menjaga persatuan bangsa. “Mahasiswa harus jadi benteng pertahanan dari arus radikalisme. Jangan hanya cerdas secara akademik, tapi juga berjiwa sosial dan berwawasan kebangsaan,” pungkasnya. (Mhu).