Palangka Raya, Kantamedia.com – Menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, mendapat kritik dari sejumlah pihak. DPD GMNI Kalimantan Tengah melalui Wakabid Sosial dan Lingkungan, Enrico Rafael Siahaan, menyatakan penolakan terhadap usulan tersebut.
Enrico menilai, pemberian gelar pahlawan harus didasarkan pada pemahaman sejarah yang utuh, bukan selektif. “Pentingnya memahami sejarah secara benar dan bijak merupakan aspek fundamental dalam memberikan gelar kepahlawanan,” tegasnya.
Ia mengakui bahwa Soeharto memiliki sejumlah capaian, seperti menjaga kedaulatan pangan, menekan inflasi, dan memperkuat sektor energi. Namun menurutnya, keberhasilan tersebut tidak dapat menghapus sisi kelam sejarah yang mencakup praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta pelanggaran hak asasi manusia terhadap para aktivis.
“Pak Bahlil tidak boleh lupa bahwa Presiden Soeharto juga merupakan pelaku kejahatan,” ujarnya, merespons dukungan Menteri ESDM sekaligus Ketua Umum Partai Golkar terhadap pemberian gelar tersebut.
GMNI Kalteng menilai dorongan gelar ini sarat kepentingan politik. Enrico menyoroti pernyataan sang ketua partai yang akan menyampaikan langsung rekomendasi gelar kepada Presiden Prabowo Subianto. “Hal ini mengindikasikan adanya unsur nepotisme dalam pemberian gelar,” ucapnya.
Ia menambahkan, sejarah tidak boleh ditafsirkan sepihak demi kepentingan politik. Mengutip pesan Bung Karno, Enrico menegaskan, “Sekali lagi JAS MERAH — Jangan Sesekali Melupakan Sejarah.”
Menurutnya, gelar pahlawan adalah anugerah negara yang harus melalui penilaian objektif dan tidak digunakan untuk membangun citra politik atau menutupi pelanggaran masa lalu. “Pemberian gelar pahlawan semestinya memperhatikan aspek fundamentalnya yaitu historis sejarah,” tutupnya. (Daw).



