Kritik Penertiban Kawasan Hutan, WALHI: Negara Gantikan Peran Korporasi dalam Kejahatan Lingkungan

Palangka Raya, kantamedia.com – Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 mendapat sorotan tajam dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Alih-alih memperbaiki kondisi lingkungan dan menyelesaikan konflik agraria, penertiban ini justru dinilai memperburuk situasi di lapangan dan menggantikan kejahatan korporasi dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara secara langsung.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa penertiban yang berlangsung tidak berlandaskan pada prinsip pemulihan ekologi maupun penghormatan terhadap hak masyarakat adat. “Perpres 5/2025 ini justru memfasilitasi negara untuk mengambil alih kejahatan korporasi sebelumnya. Patok-patok penyegelan banyak dipasang di lahan masyarakat korban konflik, bukan di lahan milik korporasi,” tegasnya melalui keterangan tertulis yang diterima Minggu (20/7/2025).

Menurut Uli, WALHI mencatat, setelah proses pengambilalihan, pemerintah menyerahkan kembali sebagian besar lahan kepada PT Agrinas tanpa proses hukum yang jelas dan tanpa kewajiban perusahaan tersebut untuk memenuhi regulasi lingkungan seperti AMDAL dan pelepasan kawasan hutan. “Satgas ini hanya punya dua tujuan: cari uang dan ganti pemain. Yang dulu swasta sekarang jadi perusahaan negara. Orang-orang di dalamnya pun banyak dari militer,” tambah Uli.

Kalimantan Tengah: Penyegelan Tak Sentuh Korporasi, Malah Rugikan Warga

Di Kalimantan Tengah, terdapat 127 perusahaan sawit yang masuk daftar penertiban seluas hampir 850 ribu hektare. Dari pemantauan WALHI Kalimantan Tengah, plangisasi baru dilakukan terhadap 16 perusahaan di Kotawaringin Timur dan Seruyan. Namun, banyak plang justru dipasang di lahan masyarakat yang selama ini bersengketa dengan perusahaan.

“Ini bentuk baru kejahatan struktural. Tidak ada transparansi, penyegelan tidak menghentikan operasi perusahaan, dan masyarakat sebagai korban justru ikut terkena dampak,” kata Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalteng.

Kalimantan Barat: Plangisasi Tanpa Solusi

Hal serupa terjadi di Kalimantan Barat. WALHI Kalbar mengungkapkan empat perusahaan sawit telah disegel Satgas PKH, di antaranya PT Rezeki Kencana, PT Riau Agrotama Plantation, PT Satria Multi Sukses, dan PT Duta Palma. Namun, penyegelan ini tidak disertai dengan penyelesaian konflik yang ada, termasuk tuntutan pengembalian hutan lindung dari PT SMS.

“Penguasaan lahan malah dialihkan ke Agrinas, tanpa menyelesaikan konflik lama. Kami khawatir proses ini justru menyasar masyarakat,” ujar Indra Syahnanda, Kepala Divisi Kajian dan Kampanye WALHI Kalbar.

Sumatera Barat: Hutan sebagai Aset Hidup, Bukan Komoditas

Di Sumatera Barat, lebih dari 105 ribu hektare lahan telah disegel. Namun, menurut WALHI, proses ini belum jelas arahnya. “Hutan bukan aset legal-formal semata, tapi ruang hidup yang memiliki nilai sosial, budaya, dan spiritual. Penertiban harusnya mengembalikan fungsi tersebut,” ujar Wengky Purwanto, Direktur WALHI Sumbar.

Kasus PT AMP di Kabupaten Agam menyoroti kompleksitas kepemilikan tanah ulayat yang dirampas korporasi tanpa realisasi kebun plasma. Wengky menilai Perpres 5/2025 terlalu menyederhanakan persoalan. “Kita butuh UU Kehutanan baru yang adil dan akomodatif,” katanya.

Sumatera Utara dan Jambi: Intimidasi dan Skema Tidak Adil

Di Sumatera Utara, WALHI menemukan praktik pungutan liar oleh oknum yang mengatasnamakan PT Agrinas. Masyarakat dipaksa membayar Rp400/kg hasil panen sawit, disertai ancaman dari aparat berseragam loreng.

“Proses pengambilalihan berlangsung diam-diam, tanpa izin sah, dan diiringi intimidasi terhadap kepala desa,” ungkap Riandra, Direktur WALHI Sumut.

Sementara di Jambi, PT Agrinas menyegel kawasan yang masih dalam proses penyelesaian konflik agraria. Skema kerja sama 40:60 untuk masyarakat-perusahaan dinilai timpang karena seluruh beban kerja dibebankan pada masyarakat.

“Penertiban ini tidak berpihak pada rakyat. Ini adalah soal keadilan ekologis dan pengakuan terhadap hak masyarakat yang telah mengelola kawasan hutan selama puluhan tahun,” tegas Ginda Harahap dari WALHI Jambi. (rik)

Bagikan berita ini