Palangka Raya, Kantamedia.com – Momentum Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 di Kalimantan Tengah diwarnai aksi solidaritas yang melibatkan buruh, mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, hingga elemen masyarakat sipil. Aksi tersebut digelar di Palangka Raya pada Kamis (1/5/2025) dengan mengangkat isu kesejahteraan dan perlindungan buruh yang dinilai belum maksimal.
Koordinator aksi, Dida Pramida, menuturkan bahwa fokus utama aksi adalah mendorong perhatian pemerintah terhadap kondisi buruh, terutama di sektor strategis seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan industri jasa. Ia menyebut, meski ekonomi daerah tumbuh dari sektor tersebut, kesejahteraan buruh masih jauh dari harapan.
“Di tengah pertumbuhan ekonomi yang ditopang sektor-sektor besar, jutaan buruh masih hidup dalam kondisi kerja yang tidak layak,” ujar Dida.
Data tahun 2025 menunjukkan, sektor perkebunan sawit di Kalteng menyerap sekitar 335.000 tenaga kerja lokal atau 13 persen dari total penduduk. Namun, Dida mengungkapkan masih banyak buruh sawit yang bekerja di bawah standar minimum, tanpa kontrak kerja, melebihi jam kerja normal, dan dalam kondisi minim perlindungan keselamatan kerja.
Lebih lanjut, ia menyebut sistem ketenagakerjaan di sektor ini masih cenderung primitif dan eksploitatif, bahkan diperburuk sejak berlakunya UU Cipta Kerja tahun 2020. “UU tersebut telah memperlemah perlindungan hak buruh dan memperbesar kekuasaan korporasi atas tenaga kerja,” tambahnya.
Selain buruh sektor sawit, Dida juga menyoroti kondisi Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang hingga kini belum diakui secara hukum sebagai pekerja formal. Dari sekitar 4 juta PRT di Indonesia yang mayoritas adalah perempuan, banyak di antaranya belum mendapat perlindungan terhadap hak-hak dasarnya.
“RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah dua dekade diperjuangkan, namun hingga akhir 2024 kembali gagal disahkan. Ini bentuk pengabaian negara terhadap buruh perempuan,” tegas Dida.
Ia menilai, ketidakpastian hukum ini membuat jutaan PRT tetap rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi, tanpa perlindungan sosial maupun jaminan kerja. Menurutnya, pemerintah harus segera mendorong pengesahan RUU PPRT demi keadilan sosial.
Kritik juga dilayangkan kepada pemerintah yang dinilai belum cukup tegas terhadap perusahaan-perusahaan pelanggar aturan ketenagakerjaan. Dida menyebut kehidupan kelas buruh masih diliputi ketidakpastian kerja dan upah, terutama sejak disahkannya UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.
“Aksi ini menjadi pengingat bagi pemerintah agar benar-benar melindungi buruh sebagai bagian penting dari sistem ekonomi nasional,” ungkapnya.
Menurut Dida, tanpa perhatian serius terhadap kesejahteraan dan keamanan kerja, pertumbuhan ekonomi hanya akan menguntungkan segelintir pihak dan tidak mencerminkan keadilan sosial. “Buruh adalah penopang utama perekonomian. Negara wajib memastikan mereka dihormati dan dilindungi,” tutup Dida. (daw)