PALANGKA RAYA, kantamedia.com – Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah (Wakapolda Kalteng) Brigjen. Pol. Rakhmad Setyadi menegaskan pentingnya strategi pencegahan dan penegakan hukum yang terintegrasi untuk menghadapi potensi kerawanan di sektor jasa keuangan. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers di Hotel Bahalap, Palangka Raya, Rabu (20/8/2025).
Menurutnya, perkembangan sektor keuangan yang kian pesat dengan hadirnya berbagai produk dari swasta maupun pemerintah membawa dampak ganda: peluang sekaligus kerawanan. Untuk itu, Polda Kalteng mengedepankan dua strategi utama.
Langkah awal yang ditekankan adalah strategi pre-emptive dan preventive, dengan fokus pada edukasi. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
“Edukasi terutama ditujukan kepada pelaku usaha jasa keuangan agar patuh aturan. Sesungguhnya aturan tidak rumit, namun praktik di lapangan sering menimbulkan persoalan,” jelas Rakhmad.
Kepolisian, kata dia, bersama OJK, Kejaksaan, dan pemerintah daerah terus memperluas sosialisasi, baik di internal Polri maupun kepada masyarakat luas.
Strategi kedua adalah penegakan hukum berbasis kolaborasi lintas lembaga. Polri bekerja sama dengan OJK dan Kejaksaan agar proses hukum berlangsung transparan tanpa menimbulkan kegaduhan di publik.
“Penegakan hukum harus tetap berjalan, namun dengan cara yang menenangkan publik. Peran media juga penting agar informasi tersampaikan jelas dan tidak simpang siur,” tegasnya.
Lebih Rakhmad Setyadi mengungkapkan, data kasus 2022–2025 masih didominasi penipuan, dan Polda Kalteng menangani 48 kasus tindak pidana sektor keuangan dengan rincian: 2022: 8 kasus; 2023: 14 kasus; 2024: 16 kasus dan 2025 (hingga Agustus): 10 kasus
Jenis kasus yang paling banyak adalah tindak pidana perbankan (17 kasus), dengan modus seperti pemalsuan kuasa, pergantian spesimen tanda tangan rekening perusahaan, pelanggaran prinsip kehati-hatian, hingga penolakan hak nasabah atas rekening koran.
Selain itu, tercatat 19 kasus jaminan fidusia, umumnya berupa pengalihan objek jaminan tanpa persetujuan kreditur. Ada juga 3 kasus perdagangan tanpa izin atau fiktif, serta 8 kasus pencucian uang dengan modus penyamaran dana hasil tindak pidana.
“Polanya masih sama, penipuan atau ‘tipu-tipu’ tetap mendominasi kasus keuangan di Indonesia, termasuk di Kalteng,” ujar Rakhmad.
Wakapolda menegaskan, penyebab kasus keuangan dapat dilihat dari dua sisi: masyarakat maupun pelaku usaha. Jika masyarakat menjadi pelaku, umumnya karena dorongan memperoleh keuntungan cepat di luar prosedur resmi. Namun, jika menjadi korban, akar masalah utamanya adalah rendahnya literasi keuangan.
“Banyak yang tergiur iming-iming keuntungan besar atau fasilitas instan. Karena literasi rendah, mereka cepat terjebak dalam penipuan,” jelasnya.
Sementara pada pelaku usaha, motif dominan adalah mencari keuntungan instan dengan mengabaikan regulasi. Sebagian bahkan memang sejak awal berniat melakukan penipuan. Menutup paparannya, Rakhmad menegaskan bahwa penguatan literasi keuangan masyarakat merupakan kunci utama untuk menekan angka kejahatan.
“Dengan literasi yang baik, masyarakat tidak mudah terjebak dalam praktik ilegal. Edukasi, sosialisasi, dan kolaborasi lintas sektor harus diperkuat agar perlindungan hukum benar-benar dirasakan masyarakat,” pungkasnya. (daw)