Tradisi mudik bisa dikatakan merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.
Namun istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta sebagai ibukota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Saat itu sistem pemerintahan Indonesia tersentral di sana dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air.
Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.
Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.
Mengapa harus mudik?
Agus Maladi Irianto dalam jurnalnya “Mudik dan Keretakan Budaya” menilai bahwa mudik dari era kuno hingga sekarang memiliki satu tujuan: membantu mengobati stres dan mengisi kekosongan jiwa manusia kota.
Budayawan Universitas Diponegoro membenarkan bahwa mudik memiliki spiritual-kultural seperti yang pernah digambarkan Umar Kayam (2002). Mudik hadir sebagai warisan para leluhur dan terkait dengan kebiasaan petani Jawa berziarah ke makam para pendahulunya.
Tradisi mudik, menurut Umar Kayam, merupakan kebiasaan masyarakat Nusantara yang sudah ada sejak kerajaan Hindu-Buddha, namun perlahan luntur karena masuknya pengaruh Islam. Hadirnya Islam ke tanah Nusantara disebut Kayam memupuskan beberapa tradisi yang dianggap syirik, termasuk ziarah kubur.
Hingga kemudian, akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi asli Nusantara — di tanah Jawa khususnya — tidak dapat terhindar, sehingga kebiasaan-kebiasaan tersebut tetap bertahan hingga saat ini.
Namun hingga tulisan ini dibuat, tidak ada bukti konkret yang melandasi teori milik Umar Kayam seperti tercantum dalam jurnal milik Irianto di atas.
Namun secara pasti, Irianto menegaskan tidak ada mudik yang tidak diawali oleh proses migrasi dari desa ke kota. Kota selalu dipandang lebih menjanjikan secara ekonomi maupun pendidikan, dibandingkan dengan di desa.
Ditilik dari dimensi sosial, mudik juga dapat menjadi wadah saat masyarakat migran kembali ke desa dengan status yang berbeda dan dapat mempengaruhi orang lain untuk mengikuti jejaknya.
Bagi para pemudik, kota hanyalah tempat tinggal sementara. Di sisi lain, mereka merasa rumah mereka masih berada di desa asal mereka. (*/jnp)