Kebijakan Afirmatif
Dalam sidang pembacaan putusan yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah menegaskan bahwa kebijakan afirmatif atau affirmative action merupakan “kesepakatan nasional” untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia yang lebih luas sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah merujuk pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, yang menegaskan bahwa kebijakan afirmatif yang diadopsi dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) telah diterima secara konstitusional melalui Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Mahkamah menilai bahwa perlakuan khusus bagi perempuan merupakan bentuk pemenuhan keadilan substantif mengingat secara faktual perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki dalam hampir seluruh bidang penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, penerapan kuota keterwakilan perempuan dalam lembaga politik merupakan bagian dari implementasi prinsip kesetaraan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
“Oleh karenanya, jikalau terdapat ketidakseimbangan antar-berbagai kelompok, terbuka kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan khusus agar tercapai titik kesetimbangan antara berbagai kelompok dalam suatu negara. Dalam hal Ini, Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Keterwakilan Perempuan
Mahkamah menegaskan, politik hukum keterwakilan perempuan telah menjadi bagian dari sistem demokrasi Indonesia sejak diaturnya ketentuan minimal 30 persen keterlibatan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai politik sebagaimana termaktub dalam UU Partai Politik. Prinsip tersebut juga diwujudkan dalam pemenuhan kuota perempuan dalam daftar calon legislatif pada setiap tingkatan pemilihan.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah sepakat dengan dasar argumentasi para Pemohon, bahwa kehadiran perempuan (politics of presence) pada setiap AKD dengan fokus pada bidang-bidang tertentu jelas akan menginsentif perempuan dalam memberikan sumbangsih pemikiran dengan perspektif perempuan yang khas (politics of ideas).
Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menyepakati sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs), di mana ditegaskan dalam sasaran tersebut bahwa kesetaraan dan pemberdayaan gender menjadi target krusial dalam SDGs global dengan salah satu sasarannya memastikan bahwa perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik.
Hal demikian menjadi relevan dengan adanya penempatan anggota DPR perempuan dengan prinsip perimbangan dan pemerataan harus dipandang sebagai bagian dari agenda penguatan keterwakilan perempuan dalam politik yang selama ini telah menjadi politik hukum nasional. Lebih lanjut, kehadiran perempuan secara berimbang dan merata pada setiap AKD akan membantu sekaligus memfasilitasi anggota DPR perempuan memperjuangkan hak kaumnya secara kolektif di semua bidang kehidupan bernegara.
Berkenaan dengan hal ini, menjadi penting untuk dilakukan penataan dari hulu hingga hilir, mulai dari proses rekrutmen calon anggota legislatif yang diupayakan memiliki keterkaitan dengan kapasitas yang dibutuhkan dalam AKD.
“Untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam AKD, maka perlu adanya praktik agar keterwakilan perempuan tidak terpusat di fraksi tertentu. Bahkan fakta menunjukkan adanya komisi yang minim perempuan, karena anggota perempuan justru lebih banyak ditempatkan di komisi bidang sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan,” ujar Saldi.
Oleh karena itu, sambung Saldi, agar posisi AKD memuat keterwakilan perempuan secara berimbang, menurut Mahkamah, perlu dibuat mekanisme dan langkah konkret baik secara kelembagaan maupun politik. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) hal yang dapat dipraktikkan.


 
		 
		 
		 
		 
		 
		 
		
