Pertama, DPR dapat menerapkan aturan internal yang tegas (seperti Tata Tertib DPR), agar setiap fraksi menugaskan anggota perempuan sesuai dengan kapasitasnya. Apabila suatu fraksi memiliki lebih dari satu perwakilan di suatu AKD maka minimal 30% di antaranya adalah perempuan. Selain itu, fraksi di DPR memegang peranan penting karena anggota AKD ditentukan oleh masing-masing fraksi. Langkah ini dapat diambil dengan cara fraksi menetapkan kebijakan internal afirmatif gender. Dalam konteks ini, untuk menempatkan anggota di AKD, fraksi harus memperhatikan keseimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan di tiap komisi.
Kedua, fraksi juga mengatur rotasi dan distribusi yang adil, sehingga anggota perempuan tidak hanya ditempatkan di komisi sosial, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan, tetapi juga bidang ekonomi, hukum, energi, pertahanan, dan bidang-bidang lainnya. Badan Musyawarah (Bamus) DPR juga memiliki peranan penting untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap komposisi AKD, serta memberikan rekomendasi penyesuaian jika terdapat ketimpangan gender antar-fraksi atau antar-komisi.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pengaturan mengenai AKD yang meliputi anggota Badan Musyawarah, anggota Komisi, anggota Badan Legislasi, anggota Badan Anggaran, anggota BKSAP, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, anggota BURT, dan anggota panitia khusus harus memuat keterwakilan perempuan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota perempuan pada tiap-tiap fraksi”. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 114 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), dan Pasal 151 ayat (2) UU I 17/2014 adalah beralasan menurut hukum.
Afirmasi dalam Susunan dan Pimpinan AKD
Selain itu, menurut Mahkamah, eksistensi keterwakilan perempuan secara proporsional dalam pimpinan AKD justru membawa perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam proses pembuatan kebijakan oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, pengisian pimpinan AKD yang dilakukan dengan cara pemilihan dari anggota AKD dalam satu paket berdasarkan usulan fraksi dengan musyawarah mufakat, tanpa mengindahkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) maka implementasi keterwakilan perempuan justru semakin terabaikan.
Dengan konstruksi sebagaimana rezim UU MD3 yang berlaku saat ini, maka siapapun dari anggota AKD dapat mengajukan diri sebagai pimpinan AKD yang terpilih dengan prinsip musyawarah mufakat. Apabila hasil musyawarah mufakat justru tidak memilih perempuan, dapat menimbulkan peluang adanya kondisi perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Hal ini mengakibatkan implementasi keterwakilan perempuan untuk mengisi pimpinan AKD sulit diwujudkan. Oleh karena itu, ketiadaan ketentuan kuota paling sedikit 30% (tiga puluh persen) perempuan untuk mengisi posisi pimpinan AKD, adalah inkonstitusional.
Sebaliknya, adanya pengaturan dimaksud memberikan kepastian hukum yang adil karena ukuran penetapan formula 30% perempuan dapat diukur dan lebih jelas implementasinya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal I 427E ayat (1) huruf b UU 2/2018 adalah beralasan menurut hukum. (*/pri)


 
		 
		 
		 
		 
		 
		
