Asal Usul Sebutan Pedagang Kaki Lima di Indonesia

Kantamedia.com – Hingga hari ini, istilah “Pedagang Kaki Lima” atau PKL masih digunakan untuk menyebut para pedagang yang berjualan di pinggir jalan atau trotoar.

Tapi pernahkah Anda bertanya-tanya, kenapa disebut kaki lima? Apakah karena jumlah dua kaki pedagang ditambah tiga roda gerobaknya? Atau ada alasan lain di balik istilah ini?

Para pedagang kaki lima ini biasa menjual berbagai barang, mulai dari makanan, minuman, hingga kebutuhan sehari-hari.

Tahukah Anda bahwa, asal-usulnya bukan berasal dari Indonesia, melainkan dari kebijakan pemerintah kolonial yang ternyata mengalami salah tafsir.

Awal Mula Disebut Pedagang Kali Lima

Melansir dari Inilah, kisah ini berawal dari kebijakan Thomas Stamford Raffles, pemimpin wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Singapura, pada awal tahun 1800-an.

Saat itu, ia mengeluarkan aturan baru bagi pemilik bangunan, yang mana mereka harus menyediakan jalur pejalan kaki di depan rumah atau toko mereka.

Lebar jalur tersebut lima kaki atau sekitar 1.5 meter, dan dikenal dengan istilah five-foot way.

Tujuan dari jalur ini, adalah agar masyarakat bisa berjalan lebih nyaman, terlindung dari hujan dan terik matahari.

Namun, aturan yang dibuat oleh Thomas ini malah menimbulkan kebingungan.

Masyarakat yang mayoritas berbahasa Melayu menerjemahkannya secara langsung dengan pola diterangkan-menerangkan.

Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris kita mengenal “beautiful girl”, yang diterjemahkan sebagai “perempuan cantik”, bukan “cantik perempuan”.

Hal yang sama juga terjadi pada five-foot way. Yang mana, orang-orang mengartikan five-foot way sebagai “kaki lima”, bukan “jalur lima kaki”.

Adanya salah arti ini, jalur yang seharusnya digunakan untuk pejalan kaki justru dipenuhi oleh pedagang.

Lambat laun, orang mulai mengasosiasikan “kaki lima” bukan sebagai trotoar, melainkan sebagai tempat untuk berjualan.

Dari sinilah istilah Pedagang Kaki Lima lahir.

Sudah Ada Sejak Zaman Kolonial

Seiring waktu, istilah five-foot-way traders atau pedagang kaki lima semakin populer di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Singapura dan Indonesia.

Bahkan, menurut Perpustakaan Nasional Singapura, pedagang di trotoar sudah menjadi pemandangan umum sejak abad ke-19.

Di Indonesia, keberadaan PKL juga sudah tercatat sejak lama. Dalam bukunya Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (1988), Threes Susilastuti menulis bahwa sekitar tahun 1870-an, para pedagang kaki lima di Batavia sudah menjual makanan, obat-obatan, hingga barang kebutuhan rumah tangga.

Mereka biasanya berteriak-teriak untuk menarik perhatian pembeli. Namun, tidak semua orang menyukai keberadaan mereka.

Dalam buku Jakarta: 400 Tahun (1987), Susan Blackburn mencatat bahwa orang-orang Eropa di Batavia banyak yang memprotes keberadaan PKL.

Mereka menganggap pedagang kaki lima mengganggu keindahan kota, apalagi banyak dari mereka yang berjualan di depan rumah orang Belanda.

Selain itu, kondisi lapak yang dianggap berantakan membuat orang Eropa semakin tidak menyukainya.

Tapi, meskipun mendapat protes, para PKL pada saat itu tetap bertahan dan justru semakin bertambah.

Pada tahun 1930-an, ketika krisis ekonomi melanda, jumlah PKL meningkat pesat. Banyak orang memilih berjualan di jalanan karena modalnya kecil, tetapi bisa menghasilkan keuntungan yang lumayan.

Sejak saat itu, PKL menjadi bagian dari perekonomian masyarakat dan terus berkembang hingga sekarang. (*)

Bagikan berita ini