Kisah Tiga “Kartini” di Garis Depan Krisis Agraria

Kehidupan mereka aman dan tenteram, hingga pada 2022 perusahaan perkebunan yang sama kembali mendapatkan HGU. Tanpa bertanya pada rakyat, perusahaan tersebut mengerahkan orang untuk merusak semua. Padahal, tidak semua keluarga yang rumah dan tanamannya dirusak tersebut menerima tali asih (semacam penggantian dalam bentuk uang).

Dua setengah tahun terakhir ini Tiomerli dan teman-teman sekampungnya hidup dengan sangat tidak nyaman. “Bahkan, bertani di pekarangan rumah saja tidak aman. Malam hari bisa dirusak orang. Begitu juga kalau kami pergi meninggalkan rumah. Ketika pulang, tanaman sudah dirusak juga.

Masyarakat di sana kini hanya berstatus petani, tapi tak bisa bertani lagi, hanya bekerja serabutan. Apa pun pekerjaan yang ada, akan dikerjakan, termasuk bongkar muat bahan bangunan dan menenun. Padahal, sebelumnya masyarakat di sana hidup dengan guyub dalam bertani. Ketika Tiomerli menanam jagung, ia mengajak teman-temannya untuk bantu menanam. Begitu juga ketika temannya menanam, Tiomerli ikut membantu.

Perjuangan untuk mendapatkan hak tanah masih terus berlanjut. Tiomerli masih dipercaya menjadi Ketua Sepasi (Serikat Petani Sejahtera Indonesia). Tugasnya sebagai Ketua Sepasi adalah merangkul teman-temannya supaya kuat berjuang.

“Tanah ini memang tanah negara. Tetapi, kami masyarakat Indonesia juga berhak atas tanah negara. Itulah semangat yang selalu saya berikan kepada kawan-kawan untuk bertahan hidup di sini. Hidup kami memang agak sulit. Tapi, kalau pindah, akan pindah ke mana? Kalau diberi tali asih 30 juta rupiah, bisa pindah ke mana, mau bekerja apa?” kisahnya, tak bisa menahan air mata.

Berbagai jalan telah ditempuh oleh Sepasi. Mereka mendatangi berbagai pihak, mulai dari Walikota Pematangsiantar, Polres, Kanwil Medan, Komisi II DPR RI, juga Komnas HAM. Komnas HAM turun ke lapangan, mengevaluasi situasi, dan sudah mengeluarkan surat agar perusahaan perkebunan itu menghentikan dahulu kegiatannya, karena dinilai telah melakukan pelanggaran HAM.

Namun, surat tersebut diabaikan oleh mereka. Sepasi juga sempat mengadakan pertemuan di Jakarta, tapi hasil yang dimusyawarahkan di sana tidak dilaksanakan. Ditambah lagi, ketika keluar peraturan menteri pada 2024 yang menyatakan bahwa tidak ada peruntukan perkebunan di wilayah Pemantangsiantar.

“Kami sungguh berharap kehidupan kami tidak diganggu, kami tidak diusir dari tanah yang sudah kami tempati lebih dari 20 tahun. Jangan miskinkan kami. Dengan hidup selama 21 tahun di sini, kami sudah berhak memohon kepada negara untuk mengakui kami menempati tanah ini,” kata Tiomerli, yang siap untuk terus berjuang.

Wati

Berjuang untuk hak tanah tanpa kenal lelah

Ibu Wati Serikat Petani Pasundan

Bagi masyarakat Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, bertani adalah kehidupan. Bisa dibilang, mayoritas warga di sana bertani sebagai mata pencaharian. Bahkan, warga desa yang punya usaha toko pun bertani. “Kami bertani untuk makan sehari-hari dan menambah penghasilan. Misalnya, sebagian singkong dimakan, sebagian dijual. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,” kata Wati.

Apakah itu berarti bertani saja bisa membantu menyejahterakan ekonomi keluarga? “Betul. Kalau tidak ada tempat pertanian, kami mau makan apa? Bagaimana kami mau membangun rumah? Semua bisa dilakukan dari hasil pertanian,” katanya.

Sayangnya, belum semua warga Banjaranyar mendapatkan hak tanah yang digarapnya. Sebagian sudah mendapatkan sertifikat, sebagian lagi masih terus berjuang. “Sudah 24 tahun kami berjuang. Prosesnya memang sangat lama. Memperjuangkan hak tanah tidak bisa sebentar. Tidak seperti main hompimpa, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dan, perjuangan itu tidak pernah berhenti. Jika berhenti, tanah akan disergap oleh ‘musuh,” kata Wati, berapi-api.

Bagikan berita ini