Kisah Tiga “Kartini” di Garis Depan Krisis Agraria

Berita baiknya, perjuangan untuk mendapatkan hak tanah di Bali berbeda dari teman-teman mereka di luar Bali. Tidak pernah ada larangan untuk menggarap lahan. Tidak pernah ada kasus menggusur tanaman atau rumah. “Tidak ada yang merusak tanaman kami. Hanya saja, hak kepemilikan tanah itu belum juga diberikan,” tuturnya.

Dengan pendampingan KPA, Sumantri dan teman-teman eks transmigran Timor Timur, melakukan pemetaan partisipatif. Mereka harus mengulang lagi pengajuan permohonan untuk lahan garapan, padahal sebelumnya sudah diajukan bersamaan dengan lahan pekarangan. Tak hanya itu, mereka juga melakukan unjuk rasa secara damai. Sepulang dari Timor Timur, suami Sumantri, I Nengah Kisid, sempat menempati gedung DPR Provinsi untuk meminta keadilan.

Selama ini pemerintah menempatkan mereka di kawasan hutan produksi, yang lahannya bisa digarap untuk pertanian. Selain itu, untuk menambah penghasilan, mereka juga beternak sapi, sebagian juga yang beternak babi. Masing-masing kepala keluarga menggarap 50 are (sekitar 5.000 meter persegi). Sedangkan permohonan atas kepemilikan tanah yang diajukan adalah seluas 136,94 hektar untuk 107 kepala keluarga.

Di lahan garapan yang lokasinya tidak jauh dari rumah, mereka menanam tanaman musiman. Cabai, kacang, jagung, tidak dibawa ke pasar. Ada tengkulak yang membeli dengan harga cukup fair. Sementara itu, lahan pekarangan seluas 4 are ditanami tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

Sumantri tak berhenti mendampingi suaminya, yang sejak kembali dari Timor Timur terus memimpin perjuangan tersebut. Setiap kali menghadap pemerintah, Kisid tidak mau dihadapkan pada peraturan pemerintah yang menurutnya tidak terkait dengan masalah yang mereka hadapi. “Suami saya meminta pemerintah agar bijak dalam menyelesaikan kasus pengungsi eks Timor Timur. Kalau mengacu pada peraturan, pasti tidak ada yang nyantel.”

Hidup Sumantri saat ini bisa dibilang sejahtera, tetapi hatinya resah karena tidak punya sertifikat kepemilikan tanah. Ia khawatir akan status tanah yang mereka tempati, karena ada keturunan yang tinggal di sana juga. “Kami tidak pernah tahu kebijakan pemerintah nanti. Beda pemimpin, beda kebijakan. Kami berharap, melalui program-programnya, pemerintah sekarang bisa berpihak pada rakyat. Semoga mereka berkomitmen untuk menyelesaikan kasus eks transmigran Timor Timur.”

Tentang KPA

Konsorsium Pembaruan Agraria merupakan organisasi rakyat bersifat terbuka dan independen. Bertujuan memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil, jaminan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan produksi sumber- sumber agraria bagi petani, buruh tani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan dan masyarakat miskin kota, serta jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

KPA didirikan pada tanggal 24 September 1994 di Jakarta, dan disahkan pada tanggal 10 Desember 1995 di Bandung. Menganut nilai-nilai hak asasi manusia; kelestarian lingkungan; kearifan nilai-nilai adat; demokrasi; keadilan (sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan gender); non sektarian; non-partisan; perdamaian dan anti kekerasan; anti diskriminasi; solidaritas.

Keanggotaan KPA terdiri dari serikat tani, serikat nelayan, organisasi masyarakat adat, organisasi perempuan, organisasi masyarakat miskin kota dan NGO yang mempunyai satu tujuan, memperjuangkan Reforma Agraria Sejati di Indonesia. Berdasarkan Musyawarah Nasional VIII KPA tahun 2021, ke-anggotaan KPA berjumlah 135 Organisasi yang terdiri dari 78 Organisasi Rakyat (organisasi tani, organisasi masyarakat adat, organisasi perempuan, organisasi nelayan, dan organisasi masyarakat miskin kota) dan 57 organisasi masyarakat sipil (NGO) yang berada di 22 provinsi di Indonesia.

KPA bertujuan memperjuangkan terciptanya sistem agraria yang adil, jaminan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan produksi sumber- sumber agraria bagi petani, buruh tani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan dan masyarakat miskin kota, serta jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. www.kpa.or.id. (*)

Bagikan berita ini