SEMUA kita beragama, meyakini bahwa ada aturan Ilahi yang mengendalikan kehidupan ini. Tidak ada satupun kehidupan ini yang agama tidak memberikan arahan, baik yang sifatnya langsung atau tidak langsung. Baik yang sifatnya praktik maupun pemikiran. Baik yang sifatnya teknis maupun moral. Dari Iman, Islam dan Ihsan. Dari ibadah, muamalah hingga akhlakul karimah.
Oleh karena itu, adalah mustahil jika agama harus kita keluarkan dari urusan politik, apalagi kepemiluan. Atas nama urusan duniawi, lalu politik kita pisahkan dengan keyakinan. Karena politik penuh dengan kotoran maka agama lantas tidak ikut campur. Agama dan tentu para agamawannya cukup berada di menara gading, atau duduk di keimaman bersama para makmumnya dengan nyaman.
Pandangan sekularitas seperti ini tidak cocok untuk Indonesia. Justru karena politik penuh dengan intrik, agama harus turun tangan. Justru karena politik seringkali menghalalkan segala cara maka agama harus mengharamkan. Justru karena penegakan hukum di pemilu sering kali tidak berhasil, maka agama perlu melakukan pembatasan.
Akan tetapi, keterlibatan agama dalam politik, memang bukan pada sisi prosedurnya. Bahkan saat ini kita menggunakan agama dalam politik masih dalam konteks menjatuhkan lawan, memancing emosi bahkan memecah belah persatuan.
Agama yang dimaksud harus ikut campur adalah dari sudut ajaran adiluhung dan moralitasnya. Agama mengajarkan kejujuran maka pemilu harus transparan. Agama mengajarkan amanah maka politik harus memiliki daya akuntabilitas dan penuh tanggungjawab. Agama mengajarkan kecerdasan, maka politik harus bersifat deliberatif di mana perbincangan pemilu wajib mendidik dan beradab. Dan agama mengajarkan untuk berujar dengan baik, di mana politik harus disampaikan dengan kesantunan.
Adapun moderasi adalah kesedangan, tidak lebih tidak kurang. Kata kunci moderasi adalah pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Moderasi adalah wasathiyah yang memiliki padanan kata dengan tengah-tengah, adil, berimbang dan pilihan terbaik. Moderasi juga berarti perantara, pelerai dan pemimpin pertandingan. Moderasi pada akhirnya merupakan sikap dan pandangan yang tidak berlebihan, tidak ekstrem dan tidak radikal.
Bagaimana menerapkan moderasi beragama dalam penyelenggaraan Pemilu?
Pertama; penghormatan.
Penghormatan terhadap sikap politik dan pilihan orang dalam kepemiluan. Menghormati pilihan politik pribadinya masing-masing. Politik kesalingan yaitu saling menghormati dan tidak menjelek-jelekkan satu sama lain hanya karena perbedaan pilihan. Penghormatan juga bersikap biasa dalam dukung mendukung. Tidak ekstrem dan berlebihan. Tidak menganggap urusan dukungan politik adalah segala-galanya dan perkara hidup mati bagi seseorang. Jika tidak mendukung, maka dia adalah musuh yang wajib diperangi. Tidak seperti itu. Politik adalah penghormatan pilihan. Perbedaan pilihan politik adalah perkara biasa.
Kedua; kejujuran.
Sering kali dalam peristiwa politik kita mendengar, apa yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Ibaratkan main biliar, yang dituju bola delapan, yang disodok bola enam. Komunikasi politik berlaku seperti itu. Katanya permanen membangun koalisi, tapi praktiknya saling salip seperti pebalap MotoGP.
Kita juga sering mendengar, penyelenggaraan pemilu kurang transparan. Kurang jujur dan tidak terbuka. Peristiwa pemilu mutakhir membuktikan, keterbukaan informasi terkait penyelenggaraan pemilu berakibat langsung pada hasil dan dugaan pelanggaraan yang mempengaruhi kepercayaan. Ketidakjujuran selaras dengan ketertutupan informasi. Padahal keterbukaan penyelenggaraan mutlak dilakukan untuk mewujudkan integritas penyelenggaraan pemilu ke depan.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.