Putusan PN Sampit Dianggap Lecehkan Hukum Adat Dayak, Bambang Irawan: Kami Tak Akan Diam!

Palangka Raya, kantamedia.com – Sejumlah massa yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Provinsi Kalimantan Tengah menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Rabu (14/5/2025). Aksi ini dilatarbelakangi kekecewaan mendalam terhadap putusan Pengadilan Negeri Sampit dalam perkara Nomor: 36/Pdt.G/2024/PN/Spt yang dianggap mencederai hukum dan martabat masyarakat adat Dayak.

Massa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Provinsi Kalimantan Tengah itu menuntut pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik hakim PN Sampit yang memutus perkara dengan putusan ultra petita, serta menyatakan tidak sah putusan adat Damang Tualan Hulu.

“Kami menuntut permintaan maaf tertulis dari Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya kepada masyarakat hukum adat Dayak se-Kalteng dan jaminan agar insiden serupa tidak terulang serta mendesak kepada Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah untuk segera menggelar Sidang Adat “Basara Hai” terhadap pihak-pihak yang dianggap melecehkan lembaga adat,” bunyi tuntutan massa.

Di tengah massa aksi, Ketua Fordayak sekaligus Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng Bambang Irawan, turut menyampaikan orasi. Dengan nada cukup emosional Bambang mengingatkan pentingnya menghormati jalur hukum adat.

“Kami Dayak sudah bersumpah setia pada Indonesia sejak 17 Desember 1960 di hadapan Soekarno. Tapi jangan nodai sumpah itu dengan merendahkan hukum adat kami,” tegas Bambang.

“Tidak ada satu pun pengadilan—militer, tinggi, MA atau MK—yang bisa menganulir keputusan tanah adat. Kami punya jalur kami sendiri. Dan kami tidak pernah menganulir keputusan negara. Tapi kalau kalian mulai menyentuh putusan kami, ayo kita berhadapan,” lanjutnya lantang.

Bambang juga mempertanyakan integritas hakim yang memutus perkara PN Sampit, serta menyindir keberpihakan terhadap korporasi besar.

“Berapa perusahaan kasih ke hakim itu? Tolong jawab. Lihat perusahaan-perusahaan yang tak pernah menginjak tanah ini, tapi seenaknya merampas tanah kami. Kami yang merawatnya, kami yang menjaga budaya di atasnya,” seru Bambang di hadapan massa.

Ia juga mengingatkan para pemangku kepentingan bahwa masyarakat adat tidak menolak pembangunan dan investasi, tetapi menolak cara-cara yang memecah-belah dan melecehkan nilai-nilai lokal.

“Kami tidak menolak investor, tapi kami minta jangan gunakan pecah belah. Kalau tidak dihentikan, maka kalian memaksa kami untuk melawan. Kami bukan bodoh, kami paham jalur kami, dan kami minta kalian hormati itu,” pungkasnya.

Untuk diketahui, putusan Pengadilan Negeri (PN) Sampit dalam perkara Nomor: 36/Pdt.G/2024/PN/Spt adalah mengenai gugatan perdata. Putusan tersebut menolak putusan adat (Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan Tualan Hulu) yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini telah menjadi sorotan dan memicu aksi demonstrasi dari masyarakat adat Dayak.

Putusan PN Sampit itu spontan memicu reaksi dari masyarakat adat Dayak yang merasa putusan adat mereka telah diabaikan.

Hal itu bermula dari sengketa antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Hutanindo Agro Lestari (HAL) yang berlokasi usaha di wilayah Kecamatan Tualan Hulu, Kotawaringin Timur.

PT HAL dalam perkembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya diduga telah merusak dan menggusur makam yang dimiliki keluarga besar Eko Yanto Saputra.

Banding dan Akan Terus Gelar Aksi

Yanto Eka Saputra yang turut dalam aksi damai, Rabu (14/5/2025) menyatakan kekecewaan mendalam atas putusan PN Sampit yang menyatakan putusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan Tualan Hulu tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ia menilai hal tersebut sebagai pelecehan terhadap martabat dan struktur hukum adat Dayak dan menyatakan pihaknya telah mengajukan banding dan menyampaikan seluruh keberatan melalui memori banding, termasuk harapan agar nilai-nilai hukum adat diperhatikan secara adil.

“Kami sudah ajukan banding dan menyampaikan semua keberatan kami, termasuk fakta bahwa putusan PN Sampit sangat melukai rasa keadilan masyarakat adat,” ujar Yanto.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa masyarakat hukum adat memberi waktu dua minggu ke depan kepada Pengadilan Tinggi Palangka Raya untuk menindaklanjuti dan memproses perkara ini secara adil dan transparan. Jika tidak ada kejelasan, maka aksi lanjutan dalam skala lebih besar akan digelar.

“Kami beri waktu dua minggu. Kalau tidak ada kejelasan, kami akan kembali turun ke jalan. Ini bukan gertakan, tapi bentuk keseriusan kami dalam membela martabat adat,” tegasnya.

Yanto juga menekankan bahwa perkara ini bukan hanya persoalan pribadi, tetapi telah menyangkut eksistensi kelembagaan dan kewibawaan hukum adat Dayak. Karena itu, ia mendorong Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah agar segera menggelar sidang adat Basara Hai terhadap pihak-pihak yang diduga telah melecehkan lembaga adat.

“Kami berharap DAD Kalteng tidak diam. Ini waktunya kita tegakkan hukum adat melalui sidang Basara Hai. Ini demi menjaga marwah dan kehormatan masyarakat Dayak,” ujarnya.

Yanto juga menyambut baik keterbukaan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, Muhammad Damis, yang menyatakan perkara ini belum inkrah dan akan diperiksa ulang secara menyeluruh. Namun ia menegaskan, ucapan itu perlu dibuktikan dengan langkah nyata dalam waktu sesingkat-singkatnya.

“Kalau memang hakim tinggi objektif dan tidak bisa diintervensi, buktikan. Jangan sampai kepercayaan masyarakat hukum adat kepada lembaga peradilan runtuh,” tutup Yanto. (daw)

Bagikan berita ini
Bsi