SEMMI Kalteng Dampingi Warga Tuntut Keadilan atas Tanah leluhur yang Diduga Diserobot PT SNP

Palangka Raya, kantamedia.com – Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Wilayah Kalimantan Tengah kembali berdiri di garis depan perjuangan rakyat. Kali ini, Ketua Umum SEMMI Kalteng, Afan Safrian, memimpin langsung pendampingan masyarakat dalam sengketa tanah leluhur yang dirampas oleh korporasi sawit rakus, PT Sawitmas Nugraha Perdana (PT SNP) di wilayah Kecamatan Hanau Kabupaten Seruyan.

Di hadapan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Kehutanan , Dinas ATR/BPN, dinas lingkungan hidup, biro hukum provinsi Kalimantan tengah dan PT SNP SEMMI bersama warga korban menyuarakan fakta pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tersebut—dari penguasaan lahan tanpa persetujuan masyarakat dan penyerobotan lahan masyarakat , hingga hilangnya ruang hidup dan sumber ekonomi warga yang telah turun-temurun menjaga tanah itu.

“Kami tidak datang membawa proposal proyek, kami datang membawa jeritan rakyat yang dirampas haknya. Jika negara tidak hadir melindungi warganya, maka rakyatlah yang akan menagih keadilan dengan tangannya sendiri!” tegas Afan Safrian dalam pertemuan, Rabu (13/8/2025).

SEMMI Kalteng menilai, konflik agraria di Kalimantan Tengah bukanlah peristiwa baru. Ia adalah potret sistemik dari pembiaran, kolusi, dan keberpihakan negara kepada korporasi. Ketika rakyat mempertahankan tanahnya, mereka disebut pengganggu. Tapi ketika korporasi merampas tanah dengan alat negara, mereka dilindungi dan diberi karpet merah.

“Kami ingin sampaikan dengan sangat jelas: tanah itu bukan hanya lahan. Ia adalah identitas, harga diri, dan sumber kehidupan. PT SNP harus bertanggung jawab atas perampasan ini, dan pemerintah tidak boleh terus berlindung di balik meja birokrasi,” lanjut Afan.

SEMMI menuntut:

1. Pemerintah Provinsi Kalteng segera membentuk tim independen investigasi untuk meninjau HGU PT SNP.
2. Penegakan hukum terhadap perusahaan yang terbukti menyerobot tanah tanpa persetujuan masyarakat.
3. Pemulihan hak masyarakat dan pengembalian tanah leluhur mereka secara menyeluruh.

Gerakan ini bukan yang terakhir. SEMMI menegaskan, selama keadilan belum ditegakkan, perlawanan akan terus digelorakan. Ini bukan hanya soal satu desa atau satu konflik, ini adalah perlawanan terhadap penjajahan gaya baru yang difasilitasi kekuasaan.

Yang lebih memprihatinkan, lanjut dia, adalah sikap arogan pihak perusahaan, khususnya pernyataan dari salah satu manajer PT SNP yang dengan enteng mengatakan ke masyarakat: “Polisi ini polisi kami, bukan polisi masyarakat.”

SEMMI Kalteng menilai pernyataan tersebut bukan hanya bentuk arogansi korporasi, tetapi juga penghinaan terhadap demokrasi, konstitusi dan lembaga negara. Polisi adalah aparat penegak hukum milik rakyat, dibayar dari pajak rakyat, dan bekerja untuk kepentingan rakyat—bukan menjadi alat korporasi .

“Ini bukan sekadar konflik lahan, ini penghinaan terhadap demokrasi, konstitusi dan lembaga negara! Jika aparat negara berubah fungsi menjadi pelindung kepentingan korporasi, maka rakyat berhak melawan dengan segala cara konstitusional,” tegas Afan Safrian dalam pernyataan sikapnya.

Dia juga menambahkan dan memperingatkan bahwa segera menyelesaikan konflik ini jangan menunggu gejolak kemarahan masyarakat meledak akibat pengabaian terhadap permasalahan ini. “Tanah bisa direbut, tapi suara rakyat tidak bisa dibungkam,” pungkasnya. (rik)

Bagikan berita ini