Kemudian datanglah Usaid bin Hudhair dan Abbad bin Basyir mendatangi Rasulullah untuk menceritakan sikap yang ditampakkan orang Yahudi, sekaligus untuk menanyakan sikap yang sebenarnya kepada Rasulullah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata demikian dan demikian. Apakah kami tidak boleh menyetubuhi wanita saat haid sekalian?”
Mendengar penjelasan dan pertanyaan tersebut, seketika itu wajah Rasulullah berubah hingga terlihat marah dari wajahnya. (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Darul Alimil Kutub: 2003], juz III, halaman 81).
Perlakuan Rasulullah Pada Wanita Haid
Dalam memperlakukan wanita haid, Rasulullah merupakan tipikal insan terbaik yang harus dijadikan contoh ketika memperlakukan istrinya yang sedang haid. Nabi tidak pernah menjauhi istrinya di saat itu, apalagi menempatkannya di tempat yang tidak layak, bahkan ia sering bersama dengan istrinya yang sedang haid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:
كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ وَأُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ
Artinya: “Aku (Aisyah) minum ketika aku sedang haid, kemudian aku memberikannya kepada Nabi Muhammad saw, lalu ia meletakkan mulutnya pada tempat mulutku. Aku juga pernah menggigit daging ketika aku sedang haid, kemudian (sisa dagingnya) aku berikan kepada nabi, maka ia meletakkan mulutnya di tempat mulutku.” (HR Aisyah).
Dengan demikian, bercumbu rayu dengan istri yang sedang haid, duduk dengannya, makan bersama, mengambil sisa-sisa makanan dan minumannya diperbolehkan, bahkan dengan cara ini juga bisa menjadi alternatif untuk membangun keluarga yang semakin harmonis dan romantis.
Tidak sebatas itu, dalam riwayat yang lain juga menyebutkan bahwa Rasulullah pernah membaca Al-Qur’an di pangkuan istrinya yang sedang haid. Hal ini sebagaimana dalam riwayat Sayyidah Siti Aisyah, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّكِئُ فِى حِجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
Artinya: “Rasulullah saw bersandar di pangkuanku (Aisyah) ketika aku haid, kemudian ia membaca Al-Qur’an.”
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُدْنِى إِلَىَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِى حُجْرَتِى فَأُرَجِّلُ رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Artinya: “Rasulullah mendekatkan kepalanya kepadaku ketika aku ada dalam kamarku, kemudian aku rapikan rambutnya, dan (saat itu) aku sedang haid.”
Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa betapa Rasulullah memuliakan istrinya yang sedang haid dengan sangat mulia dan terhormat. Nabi tidak pernah menjauhi mereka, bahkan nabi yang selalu mendekat kepadanya dan memanjakannya. Karena itu, anggapan bahwa wanita haid harus dijauhi karena kulitnya najis tidak bisa dibenarkan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (*)