Kantamedia.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 7,28 juta orang per Februari 2025. Jumlah ini naik 1,1 persen atau 83 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu.
Dari jumlah tersebut, pengangguran bergelar sarjana naik 14,6 persen. Itu adalah kenaikan tertinggi dibandingkan pengangguran dari level pendidikan lain. Pada 2024, pengangguran di level sarjana, mulai dari Diploma IV, S1, S2, dan S3 hanya 12,2 persen dari total pengangguran di seluruh Indonesia.
BPS mencatat penduduk usia kerja di Indonesia mencapai 216,79 juta orang pada Februari 2025, meningkat 2,79 juta orang dari Februari 2024. Dari jumlah tersebut, angkatan kerja tercatat sebanyak 153,05 juta orang, bertambah 3,67 juta orang dalam setahun terakhir.
Adapun gelombang PHK masih terjadi sampai awal 2025. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK pada Januari-Februari 2025 mencapai 18.610 orang.
Menanggapi kondisi ini, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Riza Annisa Pujarama, menilai naiknya angka pengangguran di Indonesia buntut dari maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri manufaktur. PHK ini terjadi sejak semester kedua 2024.
“Pemicu derasnya PHK tersebut di antaranya karena pelemahan daya beli, ada juga karena faktor daya saing yang kurang dengan produk impor, dan beberapa perusahaan merelokasi pabriknya ke luar negeri,” kata Riza, dikutip dari inilah, Sabtu (10/5/2025).
Riza mengatakan jumlah pengangguran yang diumumkan BPS itu adalah angka yang besar dan bisa menjadi beban bagi perekonomian.
“Jadi ada permasalahan struktural dalam ekonomi Indonesia yang memang perlu dibenahi, ditambah faktor global,” kata Riza.
Anggota DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyoroti tingginya angka pengangguran di Indonesia yang kian mengkhawatirkan. Dia pun mendesak para menteri ekonomi di kabinet untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani persoalan ini.
Bamsoet menyebut ketidakseriusan dalam menanggapi masalah ini dapat menciptakan krisis sosial ekonomi yang lebih dalam, terutama karena mayoritas pengangguran berasal dari kelompok usia produktif.
“Sudah sepatutnya para menteri ekonomi untuk tidak lagi bersikap reaktif, tetapi proaktif dan segera berkoordinasi dalam merancang program-program solutif yang dapat menahan laju peningkatan pengangguran. Negara tidak bisa pasif ketika angkatan kerja baru terus bermunculan setiap tahun,” tegas Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (10/5/2025).
Menurutnya, ada ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi makro dan kondisi riil masyarakat pekerja.
“Setiap tahun kita menghadapi penambahan sekitar 3,3 juta calon tenaga kerja baru. Total angkatan kerja kita saat ini sudah menembus 149 juta orang. Jika tidak ada kebijakan yang berpihak pada penyerapan tenaga kerja, terutama dari sektor informal dan UMKM, ledakan pengangguran hanya tinggal menunggu waktu,” kata Bamsoet.
menekankan penciptaan lapangan kerja tidak harus menunggu datangnya investasi besar yang realisasinya kerap terhambat oleh berbagai prosedur birokrasi. Sebaliknya, kata dia, pemerintah bisa memulihkan daya tahan ekonomi nasional dengan memperkuat sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terbukti tangguh dalam situasi krisis.
“UMKM kita pernah menjadi tulang punggung ekonomi nasional, terutama saat krisis ekonomi melanda. Mereka menyerap puluhan juta tenaga kerja. Maka langkah realistis saat ini adalah menghidupkan kembali produktivitas UMKM, bukan hanya menaruh harapan pada investasi asing,” urai Bamsoet. (*)