Kantamedia.com – Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat transaksi video porno dan seksual yang melibatkan anak di bawah umur di Indonesia selama 2022, sebesar Rp114,26 miliar.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, mengatakan tindak kejahatan ini termasuk ke dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Child Sexual Abuse (CSA).
“Banyak sekali transaksi-transaksi yang kita tangani. Terkait dengan ini, selama 2022, total ada 8 hasil analisis terkait dengan TPPO atau CSA,” kata Ivan dalam kegiatan refleksi akhir tahun 2022, Rabu (28/12/2022) dilansir Liputan6.
Menurut Ivan, PPATK sendiri telah melakukan reorganisasi pada 2022 dengan membentuk pola kerja baru dan tim khusus yang menangani kelompok tindak pidana tertentu.
“PPATK telah membentuk dedicated team untuk melakukan penanganan termasuk TPPO dan CSA. Salah satunya adalah tim kasus TPPO, total transaksi yang telah berhasil diungkap sebesar Rp 114,26 miliar,” bebernya.
Ia mengungkapkan, dalam melakukan fungsi analisis dan pemeriksaan, PPATK juga aktif melakukan koordinasi dengan NGO atau penyidik dalam rangka penyelesaian kasus TPPO/CSA yang sedang ditangani.
PPATK aktif dalam satuan gugus tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang (GT PP TPPO) bersama kementerian/lembaga terkait lainnya, dengan menyusun program/kegiatan yang berfungsi untuk pencegahan dan penanganan TPPO.
“PPATK menerima beberapa informasi baik dari masyarakat, penyidik/NGO yang memperhatikan kegiatan ini,” ujarnya.
Lebih lanjut Ketua PPATK mengungkapkan, beberapa modus yang sering dilakukan dalam TPPO dan CSA, di antaranya:
– Ditemukannya berita transaksi pada rekening para pihak yang dianalisis dengan underlying tertentu menjurus tentang anak.
– Para pelaku sebagian besar masih menggunakan channel transaksi pada perbankan (pemindahbukuan, transfer via ATM, dan juga transaksi menggunakan internet banking ataupun mobile banking).
– Pada kasus pornografi anak, para pelaku kejahatan yang memperdagangkan video pornografi menggunakan e-wallet, seperti Gopay, Dana dan OVO dalam menampung pembayaran dari pembeli konten pornografi tersebut.
– Terdapat indikasi pola co-mingling, yakni mencampur hasil usaha resmi dengan hasil tindak pidana, pada rekening beberapa pihak yang diketahui sebagai pemilik/pegawai PJTKI/PPATKIS.
– Berdasarkan analisis transaksi, ditemukan sejumlah pihak dengan berbagai profil yang diduga terkait dengan jaringan TPPO. Untuk pihak swasta, profil pekerjaan/usaha yang teridentifikasi sebagai jaringan TPPO antara lain pemilik/pegawai PJTKI/PPTKIS (baik legal maupun ilegal), money changer (transaksi perdagangan orang ke luar negeri menggunakan valas, khususnya Ringgit Malaysia), pemilik/pegawai perusahaan tour and travel, jasa penerbangan, jasa angkutan.
Selain itu, juga ditemukan keterlibatan profile pelaku dari aparatur pemerintahan antara lain oknum petugas Imigrasi, Avsec, TNI, dan Polri. (*/jnp)