DARI tahun ketahuan, esensi Bulan Ramadan seakan mengalami banyak perubahan. Hangatnya Ramadan kian mendingin, meriahnya Ramadan semakin menyepi, dan antusiasnya Ramadan seakan menghilang. Pergeseran zaman dan pengaruh gaya hidup menjadi dua alasan kuat mengapa nuansa Ramadan terus mengalami perubahan.
Dulu, Ramadan selalu menjadi bulan yang dirindukan oleh semua kalangan. Generasi muda biasa menyambutnya dengan penuh gairah bahagia. Mengisi waktu kosong dengan mengikuti pesantren kilat, baik itu anak yang masih dibangku SD, SMP, SMA, hingga para remaja pun ikut serta dalam kegiatan keagamaan.
Hangatnya Ramadan selalu diselimuti oleh kedekatan sanak-saudara yang menjadi pengukuh bahwa Ramadan menjadi pengikat tali persaudaraan. Meriahnya Ramadan dibumbui oleh semangat belajar dalam meningkatkan keimanan. Walaupun sesekali dihiasi dengan candaan yang membuat tawa. Dan antusiasnya Ramadan selalu ditunjukkan oleh semua orang dengan cara meningkatkan peribadatan.
Sebelum melesatnya teknologi dan masuknya era digital, hampir semua masjid, musala, dan madrasah tidak pernah merasa kesepian. Hingar bingar aktivitas orang-orang di tempat ibadah selalu menggelegar. Dari waktu subuh hingga menjelang subuh kembali, suasana Ramadan tetap hidup. Salat Tarawih yang menjadi identitas Ramadan dinikmati dengan penuh penghayatan. Tidak mengenal batas usia, semua ikut menjalankan salat sunat yang hanya datang di bulan yang penuh akan kebaikan. Sesekali ada canda tawa yang mengiringi pelaksanaannya, tapi bukan untuk menghilangkan esensi ibadahnya. Hanya saja, untuk mengikat kebahagiaan ketika sedang menjalankan peribadatan.
Namun setelah memasuki era keemasan, rentetan kejadian di bulan Ramadan kian menipis, bahkan di sebagian wilayah sudah menghilang. Kini sebagian orang lebih sibuk dengan aktivitas dunianya masing-masing.
Para remaja seakan mati tenggelam oleh eksistensi berkembangnya teknologi digital. Masjid-masjid yang dulu menjadi rumah hangat, kini menjadi sepi peminat. Hanya sebagian kecil para remaja yang ikut serta mengisi kekosongan, selebihnya hanya dihuni oleh orang-orang yang sudah lanjut usia.
Padahal di era sekarang, masjid tidak sulit untuk ditemukan bahkan bangunannya mewah-mewah bagaikan istana. Dahulu masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah, melainkan tempat pembentukan karakteristik suatu daerah. Seperti memberikan ruang bagi anak-anak untuk bermain, membuka alas bagi para pelaku usaha, dan melebarkan gerbang bagi para musafir untuk beristirahat dengan penuh kenyamanan.
Sayangnya, sekarang berbanding terbalik dengan keadaan yang dulu. Banyak larangan yang terpampang bagi anak-anak untuk bermain di area masjid dan pintu-pintu masjid banyak terkunci setelah selesai melaksanakan tiap-tiap salat wajib lima waktu.
Perubahan ini yang membuat sebagian orang bertanya-tanya, kemana perginya esensi Ramadan yang dulu sangat dinanti dan kepergiannya dirindukan. Apakah perubahan zaman dan gaya hidup benar-benar mengubah semua momentum indah di bulan Ramadan. Terlebih pada rendahnya tingkat kesadaran setiap orang tentang banyaknya kebaikan yang telah Allah SWT berikan khusus di bulan Ramadan.
Bulan Ramadan hanya dijadikan sebagai bulan malas-malasan, bulan penyiksaan bagi mereka yang tidak terbiasa menahan lapar dan dahaga, dan bulan yang membosankan bagi mereka yang haus akan hingar bingar luapan emosi duniawi.
Semoga kedepannya, esensi bulan Ramadan tidak redup ditelan perubahan zaman dan tetap menjadi bulan yang dihujani batuan emas kebaikan. (***)
(INSAN FAISAL IBRAHIM, S.Pd., Kp. Pamalayan Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. IG : @innsanfaisal)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.