“Guru kelas 1A yang mengajar siswi ini sampai pulang tidak ada kejadian itu. Jadi ibu Supriyani tidak pernah bertemu dengan siswa itu di hari kejadian,” beber Sanaali.
Tak hanya itu, Sanaali mengungkapkan, jika luka yang dialami siswa separah itu, maka akan menghebohkan seisi ruang hingga di luar kelas, didengar guru dan siswa lain di sekolah.
Sebab, siswa akan menangis, menjerit karena kesakitan. Pun siswa lain akan ketakutan bahkan dimungkinkan ikut trauma melihat kejadian itu.
“Luar biasa kalau ada kejadian itu, pasti mereka (siswa dan guru) berkerumun, pasti heboh karena siswa lain ketakutan. Jadi tidak ada kejadian itu,” katanya.
Dugaan Rekayasa
Proses penyelidikan hingga penyidikan kasus ini diduga penuh rekayasa, pasalnya ditemukan sejumlah kejanggalan. Salah satunya dari keterangan saksi yang saling bertentangan.
Penyidik Polsek Baito Konawe Selatan menetapkan dua saksi anak sebagai petunjuk dalam perkara ini, yakni siswi kelas dua berinisial I dan A.
Penyidik sempat melakukan reka adegan peristiwa itu di tempat kejadian perkara (TKP) ruang kelas SD negeri Baito, dihadiri dua saksi, korban, para guru dan kepala sekolah.
Sanaali menyaksikan reka adegan saat guru Supriani melakukan dugaan pemukulan yang diperagakan oleh penyidik. “Penyidik turun di TKP dia yang peragakan cara memukulnya,” kata Sanaali.
Saat itu penyidik memperagakan pemukulan yang dilakukan Supriyani terhadap MCD di dekat lemari kelas. Namun, saat setengah mengayun tangkai sapu, tangan penyidik sudah terbentur di lemari.
“Baru setengah mengayun sudah terbentur di lemari. Gagang sapu tidak sampai ke paha siswa ini. Maksudnya, (berdasarkan reka adegan) tidak terjadi pemukulan sekeras itu.” bebernya.
Dua saksi siswi juga memberi pengakuan berbeda. Saksi pertama bilang kejadian itu di meja korban. Sebaliknya, saksi kedua menunjuk tempat lain, yakni meja di paling depan.
“Jadi saksi kedua menunjuk tempat lain di depan, bukan meja korban. Artinya antara saksi sudah saling bertentangan. Itu saya saksikan, guru kelas juga menyaksikan,” jelasnya.