Di perjalanan, aku terus menutupi rasa panik dan takutku karena harus datang ke rumah sakit. Tempat paling aku hindari di dunia.
Namun sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari wanita ini. Dia mengetahui, merasakan, membaca apa pun yang ada di kepalaku.
“Kamu gapapa?” Suara itu selalu menenangkanku. Suara yang terdengar dari belakang, tepat di telinga kiriku. Walau terhalang helm rongsok bekas ayahku, suara itu tetap bisa terdengar jelas.
Aku meraih tangannya agar memelukku. Aku tak bisa menjawabnya dengan kata-kata. Jiwaku seperti hanyut di lautan langit malam yang tidak cerah ini.
Sampai di parkiran rumah sakit. Aku berkali kali menarik nafas agar rasa di dalam hatiku ini dapat kuatur. Telapak tanganku basah, aku yakin tangan wanita yang sedang ku genggam ini juga pasti merasakannya.
Setelah bertemu Reza yang ternyata mengalami patah kaki dan sudah tidur, aku dan wanitaku keluar rumah sakit berniat mencari minum. Aku terdiam, melihat mobil putih dengan orang-orang yang sibuk masuk ke dalamnya lewat pintu belakang.
Tangan wanitaku mengajakku berjalan meninggalkan pemandangan itu. Pemandangan yang sudah tidak asing jika berada di rumah sakit.
Kami memutuskan untuk mampir di penjual ketoprak. Mengingat perut kami belum terisi apa-apa dan tidak akan kenyang jika hanya diisi air.
Baru saja aku meneguk air putih, melarutkan semua kecemasan, rasa takut dan benci terhadap rumah sakit ini. Wanitaku bersuara.
“Keenan. Mati itu hal yang pasti. Kalau kamu takut mati, kamu tidak akan tenang menjalani hidup” ucapnya sambil mengaduk-aduk ketopraknya.
“Tapi aku tidak siap jika harus mati lebih dulu dibanding kamu, atau harus melihat kamu mati meninggalkanku lebih dulu. Apa boleh aku minta kepada Tuhan agar Ia memberitahuku kapan waktunya akan tiba? Agar tidak terasa menyakitkan seperti aku kehilangan ibu”
Ia berhenti mengaduk ketopraknya. Matanya menatapku dalam dalam menandakan bahwa ia ingin berkata serius.
“Aku ataupun kamu yang lebih dulu mati. Kita akan sama sama mati dan akan ketemu lagi nanti. Lagi pula, ada ataupun tidak adanya raga seseorang yang dicintai, perasaan itu akan tetap tumbuh. Kamu ngga akan kehilangan apapun”
Aku mengalihkan pandanganku dari matanya. Mengaduk-aduk ketoprak yang sebenernya sudah tak nafsu ku makan.
Wanita itu meraih tanganku. Dia selalu bisa mengambil hatiku. Aku kembali menatapnya. Dia bersuara lagi.
“Jika nanti aku mati lebih dulu, kamu harus percaya bahwa rasa cintaku untukmu tidak akan mati. Akan abadi, Keenan. Kamu jangan khawatir ya”
Malam ini, aku menatap mata wanitaku dalam dalam. Aku tersenyum membelai pipi Wanita cantik di hadapanku. Wanita yang akan selalu menjadi alasanku berani untuk hidup. Hidup dengan kata-kata indahnya yang selalu berhasil mengubur rasa takutku. (*)
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.