KAMI sungguh merasa putus asa. Entah harus bagaimana untuk menangkapnya. Dia merampok kami setiap malam dan begitu lihai bersembunyi. Tak seorang pun dari kami bisa menemukan dia.
Seminggu kemudian barulah kami berhasil mengetahui dan menemukan bahwa telinga kucing garong garang berbulu oranye itu rusak dan buntutnya yang kotor buntung sebagian. Kucing itu, yang tampaknya telah kehilangan hati nuraninya, adalah seekor kucing liar. Kami menjulukinya “Voryuga” yang berarti “Maling”.
Dia mencuri semuanya: ikan, daging, roti. Suatu hari dia bahkan membongkar kaleng berisi cacing umpan memancing yang ada di dalam lemari. Dia tidak memakan semua cacing itu, tetapi dia membuat ayam-ayam menyerbu dan melahap semua stok cacing kami yang tersisa. Ayam-ayam itu kekenyangan lalu mereka berbaring di bawah sinar matahari dan berkotek puas. Kami berjalan di sekitarnya dan mengutuk ayam-ayam kurang ajar itu.
Hampir seminggu setelahnya kami habiskan waktu untuk memburu si kucing garong. Bocah-bocah kampung membantu kami mencarinya. Suatu hari mereka datang berlari dan berkata bahwa pada dini hari kucing itu melesat melewati kebun dan menerkam banyak anak ayam.
Kami bergegas ke ruang bawah tanah dan mendapati banyak ayam hilang. Seharusnya di dalam kurungan ada sepuluh anak ayam gemuk. Itu bukan lagi pencurian, tetapi perampokan terang-terangan. Kami bersumpah untuk menangkap kucing itu dan menghentikan perbuatan kriminalnya.
Akhirnya malam itu juga si kucing tertangkap. Dia mencuri sepotong sosis dari meja dan membawanya sambil memanjat pohon birch. Kami menggoyang-goyangkan pohon birch itu. Si kucing garong menjatuhkan sosis yang menimpa kepala Ruben. Dari atas dahan pohon, kucing itu menatap kami dengan mata liarnya dan melolong marah.
Namun, tak ada aksi penyelamatan diri. Kucing itu malah bertindak putus asa. Dengan gemuruh yang menakutkan, ia jatuh dari pohon birch. Dia terjerembab ke tanah dan melompat seperti bola sepak, lalu melesat pergi ke kolong rumah.
Rumah itu kecil, berada di daerah terpencil, di sebuah taman yang ditinggalkan. Setiap malam apel-apel liar terjatuh membangunkan kami, jatuh dari cabang-cabang ke atas papan atap rumah. Rumah itu penuh dengan peralatan memancing, apel, dan dedaunan kering. Kami hanya menghabiskan waktu semalam di dalamnya. Sepanjang hari, dari fajar sampai gelap, kami berada di tepi kanal dan danau yang tak terhitung jumlahnya. Di sana kami memancing dan menyalakan api unggun di semak.
Untuk sampai ke tepi danau, kami harus menginjak-injak tetumbuhan aromatik yang tinggi di jalanan sempit. Kami akan kembali dengan lelah pada malam hari dengan membawa ikan-ikan perak. Dan setiap kali pulang, kami temui kisah tentang kenakalan baru si kucing garong.
Namun, akhirnya kucing itu tertangkap. Dia terpojok di bawah rumah, di sebuah lubang sempit. Tak ada jalan keluar. Kami meletakkan jaring nelayan tua pada lubang dan menunggu. Namun, kucing itu tidak mau keluar. Dia melolong dengan gahar.
Satu, dua, tiga jam berlalu. Sudah waktunya untuk tidur, tetapi kucing itu masih melolong dan mencarut ribut di kolong rumah. Itu membuat kami jengkel.
Kemudian kami memanggil Lenka agar dia segera datang. Dia anak seorang pembuat sepatu di kampung kami. Lenka terkenal akan keberanian dan ketangkasannya. Dia ditugaskan untuk menarik keluar kucing itu dari kolong rumah.
Lenka mengambil pancing sutra. Seekor ikan tangkapan diikatkan pada pancing itu dan kemudian dilemparkan melewati lubang ke bawah.
Lolongan berhenti. Kami mendengar benturan keras. Kucing membenamkan giginya ke kepala ikan. Lenka menyeret Joran pancing. Kucing itu mati-matian menahannya. Namun, Lenka menariknya lebih kuat. Kucing itu tetap tidak mau melepaskan ikan tangkapannya. Semenit kemudian, kepala kucing dengan ikan di giginya muncul di permukaan lubang.
Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke redaksi@kantamedia.com disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.