Legenda Hantuen, Cerita Rakyat Kalimantan Tengah

Dengan bahagia, Antang Taung membawa bayi mungil itu ke rumahnya. Ia menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Mereka mengangkat bayi mungil itu sebagai anak.

Hari berganti hari. Keanehan muncul dari bayi mungil itu. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi gadis dewasa dengan cepat dalam waktu beberapa bulan. Kedua anak angkat Tapih dan Antang Taung itu pun sering bertemu. Tidak disadari, benih-benih cinta muncul di antara gadis jelmaan ikan toman dengan pemuda jelmaan hewan angkes itu. Mereka menjalin cinta dan akhirnya dinikahkan oleh Tapih dan Antang Taung.

Tetapi kebahagiaan suami istri jelmaan itu tidak berlangsung lama. Ketika sang istri melahirkan anak laki-laki, tidak berapa lama anak itu meninggal dunia. Kesedihan menyelimuti kedua makhluk jelmaan itu.

Kesedihan ternyata tidak hanya datang pada suami istri jelmaan itu, tetapi juga pada Tapih dan Antang Taung. Putra pertama suami istri tersebut meninggal dunia. Menurut adat mereka, orang yang telah meninggal dunia harus dilakukan dua kali upacara kematian, sebelum arwahnya dapat menuju Lewu Tatau (surga orang Dayak Ngaju).

Pada upacara pertama, jenazah dikubur. Pada upacara kedua, tulang belulang jenazah tersebut dibakar. Bagi masyarakat setempat, upacara kedualah yang paling penting dan dilakukan upacara yang sangat mewah. Sebab, pada upacara yang kedua, dipercaya roh orang yang telah meninggal akan bebas dari badan kasarnya. Upacara ini disebut dengan Tiwah.

Pasangan manusia jelmaan itu mendengar bahwa saudara angkatnya hendak ditiwah. Mereka juga menginginkan tulang belulang anaknya ditiwah. Tapi Antang Taung dan Tapih tidak menyetujuinya. Namun, pasangan manusia jelmaan itu tidak menggubrisnya. Mereka tetap ingin melaksanakan tiwah untuk anak mereka.

Kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi. Ketika kuburan anak jelmaan itu digali, ternyata yang di dalam kuburan tersebut bukanlah tulang belulang manusia, melainkan tulang belulang hewan dan ikan.

Masyarakat yang melihat peristiwa itu menjadi ramai membicarakannya. Karena malu, pergilah suami istri jelmaan itu keluar dari Desa Sepang Simin. Mereka masuk ke dalam hutan belantara dan membuat sebuah desa.

Di dalam hutan tersebut, pasangan jelmaan tersebut melahirkan keturunannya dan kemudian beranak pinak sehingga menjadi keluarga besar. Keturunan makhluk jelmaan tersebut kemudian disebut dengan nama Hantuen.

Menurut cerita penduduk setempat, keturunan Hantuen ini banyak yang keluar dari desa mereka dan banyak yang berbaur dan menikah dengan manusia biasa. Dengan demikian, tidak ada lagi keturunan Hantuen asli.

Orang yang di dalam tubuhnya mengalir darah Hantuen dipercaya oleh masyarakat Dayak setempat memiliki ilmu gaib untuk mengubah dirinya menjadi hantu jadi-jadian (Hantuen). Siang hari mereka menjadi manusia biasa, pada malam hari mereka berubah menjadi hantu tanpa tubuh.

Ketika sudah berubah menjadi Hantuen, mereka akan mencari ibu yang baru melahirkan dan anak yang baru dilahirkan. Lalu mereka mengisap darahnya. (***)

Catatan Redaksi:
Kantamedia.com menerima tulisan cerpen, puisi dan opini dari masyarakat luas. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan tanda pengenal dan foto diri.

Bagikan berita ini