Palangka Raya, kantamedia.com – Puluhan massa yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Provinsi Kalimantan Tengah menggelar aksi damai di halaman Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya, Rabu (14/5/2025). Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Sampit dalam perkara perdata yang dinilai mencederai martabat lembaga adat Dayak dan mengabaikan eksistensi hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional.
Massa membawa berbagai atribut adat, baliho, dan spanduk berisi tuntutan moral dan yuridis terhadap institusi peradilan. Dalam orasinya, mereka menyampaikan tiga tuntutan utama, yaitu memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor: 36/Pdt.G/2024/PN/Spt, tertanggal 29 April 2025. Masyarakat menilai putusan tersebut mengandung ultra petita serta melecehkan putusan adat karena menyatakan tidak sah dan tidak mengikat keputusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Tualan Hulu Nomor: 1/DKA-TH/PTS/5/2024.
Kemudian menuntut Ketua PT Palangka Raya untuk menyampaikan permintaan maaf secara tertulis kepada masyarakat adat Dayak se-Kalimantan Tengah atas pelecehan terhadap lembaga adat dan menjamin hal serupa tidak akan terulang di kemudian hari.
“Mendesak Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah untuk menggelar Sidang Adat “Basara Hai”, sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penyikapan kelembagaan atas peristiwa ini,” demikian bunyi salah satu tuntutan.
Menurut Korlap Aksi Erko Morja, putusan PN Sampit tidak hanya mencampuri wilayah hukum adat, namun juga mereduksi legitimasi institusi adat yang telah diakui konstitusi. Mereka menyebut bahwa pengabaian terhadap putusan damai adat oleh pengadilan formal merupakan preseden buruk bagi keberlangsungan sistem dualisme hukum antara adat dan negara.
“Kalau lembaga adat kami tidak diakui oleh negara, lalu bagaimana kami akan menyelesaikan perkara di kampung-kampung kami? Jangan sampai ini menjadi pemantik konflik,” ujar Erko Morja.
Massa juga mendesak agar sistem peradilan nasional mengakui dan menghormati hukum adat sebagai sumber hukum hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Aksi ini bukan sekadar protes terhadap satu putusan, tetapi refleksi ketegangan laten antara sistem hukum negara dan otoritas hukum adat di Kalimantan Tengah. Tuntutan permintaan maaf dan sidang adat “Basara Hai” menunjukkan bahwa masyarakat adat menuntut lebih dari sekadar koreksi yuridis—mereka menuntut pengakuan dan penghormatan terhadap martabat kelembagaan adat. (daw)