Pun demikian dengan PT Palma Satu, di Riau, yang kelas tutupan hutan pada 2020 berupa hutan produksi rawa sekunder. Jika menggunakan SK 661, maka PSDH-DR sekitar Rp85 miliar. Kalau merujuk neraca sumber daya hutan untuk potensi tegakan dengan diameter pohon lebih 20 cm, maka PSDH-DR mencapai Rp499 miliar dan Rp149 miliar untuk tegakan pohon dengan diameter lebih 50 cm.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menyebut, ada potensi kerugian negara dari perbedaan penghitungan itu.
“Penyederhanaan penghitungan oleh pemerintah, menunjukkan kemalasan dan keberpihakan pada korporasi,” kata Uli Arta, Rabu (1/11/2023).
Perhitungan yang disimplifikasi, menurut Uli, membuat negara menerapkan denda kecil yang sebenarnya tidak signifikan dengan kerusakan dampak dari perusahaan sawit ini. Pemulihan lingkungan, katanya, akan sulit dilakukan.
“Belum lagi kalau ternyata perusahaan mengalami kebakaran atau ada konflik dengan masyarakat. Itu kerugian yang tidak bisa ditafsir dengan angka,” tegasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menyebut, melakukan perhitungan tarif PSDH-DR secara internal dan menemukan angka Rp50 juta-Rp60 juta per hektar.
“Menurut teman-teman (di Sawit Watch) itu kecil banget,” katanya, Rabu (1/11/2023).
Tetapi, kata Rambo, hitungan besar atau kecil tarif PSDH0-DR bukan masalah yang disoroti masyarakat sipil. Keterbukaan pemerintah untuk menyebut siapa saja subyek hukum dan kawasan yang dihitung menjadi hal penting.
“Karena hutan yang dihitung ini hutan negara, bukan hutan KLHK. Jadi, publik berhak tahu bagaimana prosesnya,” kata Rambo.
Didominasi Kebun Sawit Perusahaan
Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, pada akhir Juni lalu menyebut, ada 3,3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan. Kebun-kebun inilah yang akan diputihkan lewat skema Pasal 110A dan 110B dalam Peraturan Pemerintah No 24/ 2O2I sebagai aturan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja.
KLHK menjadi pihak yang menginventarisasi subyek hukum yang akan mendapat pemutihan ini. Berdasarkan data KLHK yang diperoleh Mongabay, ada 1.679 kebun berhasil diinventarisasi.
Berdasarkan luasan indikatif, ada 1.679.797 hektare perkebunan sawit terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan bidang kehutanan per 4 Oktober 2023.
Angka ini merupakan hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK Datin tahap I-XV yang ditetapkan KLHK.
Dilihat dari subjek hukum, 1.679 kebun sawit itu terdiri dari 1.263 kebun terindikasi punya perusahaan atau korporasi seluas 1.473.946,08 hektare. Kemudian, 119 kebun koperasi seluas 99.654,47 hektare, dan 297 kebun masyarakat atau kelompok tani seluas 106.196,90 hektare.
Data sama menyebut ada 1.131 kebun seluas 1.374.332,8 hektare yang dinyatakan sudah melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaian.
Dari unit yang sudah dinyatakan melengkapi persyaratan, 969 dengan luas indikatif 867.313,22 hektare akan ditetapkan dengan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B. Sementara yang sudah pasti pakai Pasal 110A ada 162 kebun luas indikatif 507.009,58 hektar.
Kalau dirinci lagi, 78 kebun dari 162 unit yang menggunakan mekanisme Pasal 110A sudah mendapatkan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan atau penetapan areal kerja. Sebanyak 29 kebun sudah mendapatkan SK persetujuan pelepasan kawasan hutan dan 55 dalam proses tim terpadu.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menyebut, sudah 90 persen pemutihan sawit dalam kawasan hutan rampung menggunakan Pasal 110A. Capaian ini tidak lepas dari kerjasama dengan grup-grup korporasi sawit.
“Jadi ketika kita pegang grup itu anggotanya jadi cepat prosesnya, ya,” katanya.
Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat nama grup besar perusahaan sawit dalam negeri sebagai pemilik 162 kebun sawit yang gunakan mekanisme Pasal 110A, antara lain Sinarmas, Wilmar, Bumitama Gunajaya Agro, hingga Salim. Ada juga perusahaan asing seperti Genting Plantation dan Kuala Lumpur Kepong asal Malaysia. (*)